Rabu, 06 Mei 2009


Kebebasan dan kemerdekaan adalah fitrah

Seperti layaknya remaja pada umumnya. Aku adalah termasuk remaja yang sudah terbilang akhir. Usiaku telah sampai pada usia 17 tahun. Di usia muda ini, aku mulai banyak merasakan banyak hal yang sebelumnya belum pernah kurasakan sedahsyat ini.
Semangatku pernah luruh, jiwa optimis yang dulu menggunung mendadak longsor, dan harapan seperti hambar. Duniaku pernah terasa sempit dan seperti tinggal satu warna kelabu.
Parahanya, memang sudah menjadi hukum alam di sebuah sekolah aneh yang sedang kutempati. Yang tak punya inisiatif untuk bergerak maka pilihannya adalah vacuum.
Dan hal itu benar-benar kurasakan. Sungguh menyiksa raga, jiwa, pikiran dan batin. Bahkan sangat menyiksa hari-hariku.
Rupanya mengikat diri di sebuah sekolah yang tak pernah memaksaku melakukan berbagai macam hal sesuai tuntutan pihak sekolah, juga tak mudah. Karena saat stabilitasku terganggu, aku masih harus memaksa diriku untuk aktif, karena pilihan lainnya adalah vacuum dari belajar.
Aku sempat bingung dan kelimpungan mencari sesuatu untuk menumbuhkan semangatku. Bahkan, aku sempai mengalami suatu tempo yang sangat memprihatinkan.
Di tempo paling mengerikan itulah aku pernah membenci sebuah kebebasan. Karena kebebasan membuatku harus berpikir sendirian saat aku ditimpa masalah belajar. Aku tak hanya kecewa dengan system kebebasan, aku juga kecewa dengan diriku sendiri juga beberapa orang yang tak mau mengertiku.
Ya, merasa tak ada yang mengerti itulah saat-saat paling berat. Karena di tengah kesunyian, darah muda beserta seluruh kawanan ego-ego menyatu menyerbu ketenanganku. Apalagi hobbyku menulis sempat kandas. Karena mendadak aku kehilangan kata. Ini pula saat-saat memberatkan dalam hidupku. Kata seolah telah menghianatiku. Atau telah menyingkirkan diri dariku karena penghianatanku padanya?
Aku sungguh tak mengerti hari-hari misteri itu kualami. Begitu aneh. Kurasakan waktu begitu cepat berlalu. Sangat cepat. Seolah-olah, jika paginya aku menarik nafas maka ketika nafas itu kuhempaskan aku sudah menjumpai sore.
Aku tak tahu kenapa setiap hari aku seperti terus diburu waktu. Sehingga aku malas melakukan sesuatu secara focus dan tuntas.
Aku tak tahu apakah remaja-remaja lain mengalami hal ini pula?
Ini adalah saat-saat paling akut dan aku tak mau membiarkan.
Tapi sesuatu akhirnya menggerakkanku. Suatu tuntutan pribadi dan sesuatu yang jelas bersumber dari dalam diriku. Ini semua karena sebuah kebebasan yang membuatku merdeka untuk berpikir dan merenung. Mengeja situasi, memerhatikan betul jiwaku yang melonglong, dan mencoba menelisik ruang batin yang terdalam. Mencari tahu apa yang sebenarnya kuperlukan,
Aku harus bangkit!
Tekadku.
***
Aku membeli buku agenda baru. Membeli alat-alat tulis yang kuperlukan. Hari-hari berikutnya kuisi segala bentuk jadwal yang kurencanakan. Kususun target-target jangka pendek. Walnya, yang banyak kumasukkan dalam jadwal-jadwal harian adalah membaca. Membaca dan membaca.
Dalam hari-hari yang menurutku merupakan hari menyedihkan karena merasa didera kesendirian itulah aku mulai mengakrabkan diri dengan buku-buku. Hari-hariku ditemani oleh para penulis yang mengajakku banyak berdialog. Semakin hari, aku semakin haus pengetahuan dan wawasan. Buku satu selesai, masih kurang, kubaca buku berikutnya, selesai lagi, masih kurang lagi. Kubaca lagi, lagi dan lagi. Masih terus kurang-kurang dan kurang.
Aku makin mencintai buku. Makin mencintai kata yang semakin hari mulai kembali membujukku untuk rujuk kembali. Ia seperti berjanji tak akan pernah meninggalkanku kalau aku tak lagi berkhianat. Ia seperti ingin membuktikan kesetiaannya padaku asal aku tetap mau membaca dan tak berhenti berkarya.
Semakin hari, semakin kurasakan kembali nikmatnya kemerdekaan belajar hari-hari selanjutnya, kuhabiskan banyak waktu untuk mempelajari hal-hal yang kuminati. Hal yang membuatku tak semangat, tak kupelajari. Aku tak pernah merasa terlalu dibebani oleh siapapun, hanya aku yang membebani diriku sendiri. Aku tak terikat dimanapun. Aku hanya terikat lekat dengan diriku sendiri. Aku terikat kontrak dengan mimpi-mimpi. Sudah ditandatangani, tinggal menunggu pencapaiannya kalau bekal yang kusiapkan sudah cukup untuk membayarnya. Menurut kesepakatan, kontrak itu akan diperpanjang selama aku masih terus mengumpulkan bekal dan tak menghianati mimpi itu sendiri. Tapi kontrak akan dihentikan kalau aku tak lagi mau berusaha. Begitulah, mimpi kadang begitu bersahabat, tapi sangat selektif dan tak mau sembarangan berkompromi.
Pernah suatu ketika aku bertanyaa kepada pendampingku,
“Seandainya kau menjadi aku?”
“Aku masih sangat muda, aku akan pelajari semua yang aku pengini, aku akan buat diriku bersinar terus menerus dengan tidak berhenti membantu siapapun yang membutuhkanku. Dan yang terpenting, aku tidak akan membiarkan diriku dihanyutkan oleh siappaun, kecuali hanya Allah,”Begitu jawabnya. Jawaban yang terus terpatri dan semakin menjadi satu dengan semangatku.
***
Aku benar-benar berusaha untuk terus memanfaatkan kemerdekaan ini. Apalagi setelah tahu kalau ternyata Einstein saja sering bolos sekolah hanya karena ingin lebih banyak membaca. Maka, aku yang sudah diberi keleluasaan dan kelonggaran oleh sekolahku sendiri, juga harus bisa menggunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Untuk membaca, berpikir, merenung, menulis, melihat dunia lebih luas, dan mencoba bersikap kritis.
Aku menyadari bahwa kebebasan dan kemerdekaan amat berarti. Aku banyak memperdalam banyak hal yang aku sukai. Catat! YANG AKU SUKAI. Yang memberikan motifasi dan mempengaruhi semangatku. Hal-hal yagn membuat aku down, kutingal pergi.
Dalam suasana bebas, aku banyak melakukan hal-hal yang menarik perhatianku sendiri. Tak ada yang melarangku meski aku belajar seharian di perpus. Tak ada yang melarangku membaca segala macam buku yang tidak ada hubungannya dengan buku paket, tak ada yang melarangku dengan keras ketika aku membuat jadwal baca full selama satu minggu. Aku bebas menulis setiap hari dan bebas pula menuangkan gagasan dimanapun.
Tak ada yang melarangku berorganisasi di dalam atau di luar sekolah. Tak ada yang melarangku memenuhi ide-ide dan inisiatifku sendiri, membuat hari berlibur sendiri, menentukan waktu refreshing sendiri, menentukan target hidup sendiri, mencari teman diskusi siapapun dan dimanapun. Tak pernah ada yang benar-benar melarangku.
Sekolah selalu mengizinkan kami merintis organisasi apapun. Tak ada yang menggugat ketika kami mempresentasikan karya seperti apapun yang kami miliki.
Kebebasan serta kemerdekaan belajar membuat mimpi-mimpi kami merasa begitu dihargai.
Dan ada hal yang membuat mimpi-mimpi itu terasa semakin dekat lambaiannya adalah karena di sini, di sebuah kemerdekaan, tak pernah ada nilai angka yang mematikan. Inilah kemerdekaan yang indah. Di dalamnya ada ilmu yang luas, semangat berkarya yang menggugah, jiwa toleransi yang diam-diam mulai tertanam, kebersamaan untuk saling melengkapi yang indah. Dan di sini, banyak potensi dari masing-masing anak mulai terkuak satu persatu. Terkelupas dengan indah. Penuh ketulusan, tanpa terbebani dengan nilai-nilai angka mati.
Bahkan, di sekolah yang merdeka ini aku bebas menentukan untuk tidak mengikuti ujian akhir nasional. Semua pasti tahu, itulah ujian akhir yang bergengsi, paling menggetarkan, dan tak jarang menggegerkan. Detik-detik menunggu kelulusan seperti detik-detik menunggu hasil diagnosa dokter mengenai suatu penyakit kronis. Kepucatan hari-hari ujian selalu mewarnai sekolah-sekolah pada umumnya. Ketegangan tak berhenti membias-bias wajah penuh harap itu. Tapi suasan itu, sekali lagi, tidak sama dengan suasana sekolahku.
Jadi ketika semua teman-teman seangakat kami di sekolah lain sudah sibuk mempersiapkan ujian, sibuk ikut les tambahan, ikut bermacam-macam bimbel. Sebagian besar dari kami malah masih sibuk merajut mimpi-mimpi, membuat target jangka pendek dan jangka panjang, memikirkan cara belajar yagn baik, berusaha terus berkarya dan belajar, tanpa mau diganggu dengan ketegangan serupa. Ketegangan yang sebenarnya menurut kami adalah ketegangan menghadapi ujian yang sesungguhnya. Cara pemecahannya lebih logis dan lebih menarik.
Namuan, perjalananku, juga perjalanan teman-temanku di sebuah sekolah bebas dan merdeka--sekolah pilihan bernama sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah yang aneh ini--, masih sangat panjang. Sangaaat panjang. Kami tak benar-benar bisa mengukur dimana titik keberhasilan yang sesungguhnya akan kami raih.
Bisa jadi, menurut Pak Din membuat anak didik tak suka dengan niai angka, membuat siswa berani berkarya, membuat siswa banyak yang mandiri, atau membuat siswa mau membuat kurikulum sendiri serta banyak menuangkan ide, gagasan dan inisiatif-inisiatif baru, mungkin sudah merupakan keberhasilan sendiri untuknya.
Beda lagi dengan anak didik yang punya seabreg mimpi. Sampai-sampai, bisa belum merasa berhasil ketika beberapa mimpi sudah berhasil diraih.
***
Tapi di sini, di sekolah aneh ini, kami tak sepenuhnya bebas layaknya orang yang tak mau tahu soal peraturan-peraturan. Hidup itu tetap terikat dengan peraturan. Hanya saja, kami berusaha mengemasnya dengan kemasan istimewa. Peraturan yang kami bentuk tak bersikap formal, tidak kaku dan tidak merugikan. Peraturan yang ada harus disepakati seluruh elemen yang menjadi bagian dari kami.
Pihak sekolah tetap membekali kami dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa hidup itu harus bermanfaat untuk orang lain serta tidak merugikan orang lain. Hanya itu peraturan baku yang masih terus berlaku dari awal berdiri sampai detik ini.
Prinsip kami, kami tak mau terlalu terbelenggu. Pihak sekolah berusaha membuat kami berpikir lebih luas soal hidup yang begitu kompleks. Mengajarkan kami agar kami tak berpikir sempit, pragmatis atau pasif.
Di sini, dalam suasana bebas ini. Sekolah tetap menyediakan internet sebagai sarana untuk membuka wahana informasi yang terupdate setiap hari. Juga sarana untuk mencari para ahli atau mengeksplore pengetahuan sesuai apa yang kami minati.
Di sini juga, disediakan banyak buku untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Mulai buku paket, buku-buku biasa, kamus-kamus, novel, sampai buku-buku berbahasa inggris.
Sekolah juga mengizinkan kami membentuk forum-forum sendiri untuk memperdalam minat dan keahlian. Serta tak melarang kami jika kami menjatuhkan pilihan pada belajar secara otodidak.
Jadi, sekolah kami mengajarkan banyak hal kepada kami tentang cara bepikir dinamis. Agar tak tenggelam sejalan dengan tuntutan zaman yang memang selalu berubah-ubah.
***
Belajar paling efektif kalau dilakukan dalam suasana menyenangkan”
Peter Kline, “The Everyday Genius.”
(Dikutip dari “The Learning Revolution”, 1999)
Kelihatannya kata-kata Peter Kline memang sangat terbukti. Salah satu cara untuk menarik seseorang agar mau mencintai belajar adalah dengan menempatkannya dalam suasana yang menyenangkan. Tanpa kekangan, tanpa tuntutan yang terlalu membebani, tanpa diskriminasi, dan tanpa tekanan.
Aku termasuk manusia yang sekarang menyukai kemerdekaan dalam belajar. Rupanya belajar tanpa tekanan membuatku lebih bisa mengeksplore dan memperdalam apa yang kuminati. Dan yang paling penting, aku begitu menikmati belajar dalam suasana seperti ini.
Butuh keberanian memang. Terlebih, tak banyak orang yang suka memilih jalur aneh yang sangat menyimpang dari jalur lazim. Tapi di sinilah, di sebuah komunitas Alternatif inilah, kehidupanku terasa lebih hidup!
Inilah belajar yang sesungguhnya. Istilahnya, Universitas of life. Di sini, aku mulai banyak menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Aku bebas menggunakan pikiranku dan menuangkan gagasan-gagasanku. Aku bebas bergerak, bebas berekspresi dan bebas menjelajah segala bidang ilmu yang kusukai.
Sekali lagi, nilai-nilai yang diberikan bukan berupa nilai angka. Tapi lebih dalam dari itu. Lebih real dan substansinyapun kena. Esensinya juga lebih terasa. Nilai-nilai itu memancar dari dalam.
Setiap waktu, setiap hari, minggu bulan dan tahun, suasana tempat belajar kami tak pernah sama. Karena kemerdekaan itu membuat komunitas ini terus bergerak dan berkembang sesuai perkembangan pikiran dan gagasan manusia-manusia di dalamnya. Tak ada kurikulum paten, tak ada kegiatan belajar monoton. Inilah belajar yang sesugguhnya, selalu grow up dan terus berubah-ubah sesuai kondisi serta menyamakan dengan perkembangan zaman.
“KUNCINYA ADA PADA DIRI KITA SENDIRI” inilah yang ditanamkan kepala sekolah kami. Yang memberi motivasi kami untuk mandiri.
Itulah mengapa setiap siswa di Q-Tha dipacu untuk terus berpikir demi sebuah perubahan dan perubahan. Perubahan kepada yang lebih baik tentunya.
“Muaranya adalah KEADILAN,” Tutur Pak Din, kepala sekolah kami.

Mimpi-mimpi

Sebagian mimpiku telah aku raih di sini. Sejak dulu, keinginan kuatku adalah jadi sorang penulis. Dan di sinilah, mulai kurasakan pencapaiannya.
Tempat belajar yang tidak terlalu formal, tidak kaku, dan tidak terlalu sistematik ini rupanya telah banyak mempengaruhi laju pemikiranku.
Sekali lagi, kuceritakan, di sini tak ada yang melarangku untuk banyak membaca, tak ada pula yang melarangku untuk banyak bertanya. Dan tak ada yang melarangku menulis segala hal yang kusuka.
“Semua karya adalah baik,” begitulah para pendamping selalu meyakinkan kami. Sehingga memompa semangat kami untuk tidak malu menunjukkan karya-karya meski acapkali tak memenuhi standar. Tapi lewat kepercayaan, dukungan dan motivasi, segala karya bisa berkembang. Mulai dari menghargai yang standar standar, karya akan berkembang ke tahap sedang, ketahap berikutnya, berikutnya sampai professional.
Kebebasan menemukan, mengeluarkan ide, serta kebebasan berimaginasi, telah membuat kami berani memiliki banyak mimpi. Membuat kami belajar kritis, mandiri serta belajar menghadapi kehidupan yang cepat berubah ini.
Andai saja seluruh anak negri ini punya kesempatan yang sama. Bisa belajar merdeka dan bebas menuangkan seluruh gagasan serta diberi kesempatan mengembangkan potensinya, tak bisa kubayangkan betapa dahsyatnya negri ini.
Bisa jadi akan muncul Albert Einstein yang baru. Atau Leonardo Da Vinci baru, , Thomas Alva Edison, atau bahkan Issaac new ton.
Bukankah manusia-manusia yang kejeniusannya diakui oleh dunia itu juga tak suka dengan bangku sekolah? Dan bukankah orang-orang besar banyak yang tak suka sekolah? Bahkan banyak dari mereka yang gagal sekolah.
Karena tak terikat dengan system kaku sekolah itulah, mereka bebas berfikir dan berimaginasi untuk menghasilkan penemuan-penemuan yang sangat berpengaruh untuk dunia.
Maka, begitu penting sebuah pendidikan yang merdeka!!!
Euphoria yang dalam dan bermakna, sama sekali tak terukur oleh materi.
Karena kebebasan dan merdeka adalah fitrah manusia sejak lahir.

BASEball-KASTI

28 April 2009-04-29
SPECIAL DAY
“KASTI???”
Aku cuma diam tanpa memberi komentar waktu ide itu keluar dari sang ketua kelas waktu rapat kemarin. Terang saja, kasti bagiku dan mungkin bagi sebagian dari teman-temanku hanyalah mainan anak-anak kecil. Kami saja terakhir memainkan enam tahun yang lalu. Bisa dikata, sejak SMP kami sudah tak pernah lagi menyentuh tongkat kasi atau bola kasti. Terakhir kami memainkannya, adalah SD. Bayangkan ENAM TAHUN!!! Bukankah tak berlebihan kalau kami menaganggap bahwa kasti hanyalah permainan anak-anak yang hanya mungkin menarik dimainkan oleh anak-anak. Maksudku itu menurut kami yang sekarang memang jarang berolah raga bersama apalagi main-main. Fuwh… boro-boro. Kumpul kelas aja harus seminggu sekali. Itupun kadang tak lengkap. Aktifitas yang berbeda-beda itulah yang membuat kami jarang punya waktu bersama. Lhah ini? Malah mau kasti???
Sekali lagi aku tak berkomen meski teman-teman banyak yang merespon. Malah, ada yang berkelakar dengan antusias mengulur memori-memori lalu sewaktu kami masih terperangkan dalam euphoria masa kanak-kanak.
Memori kasti memang seabreg. Terutama untuk kami, anak-anak yang asli Kalibening. Karena dari kecil bersama, maka seluk beluk cerita dalam permainan pun sama. Maka kasti menjadi salah satu hal untuk mengingat yang lucu-culu mengenai masa laluku.
Tapi tunggu dulu, tungguh dulu….
Kelihatannya teman-teman benar-benar atusias. Eny, Izza, Ulfa, Amik, Kana mereka semua semangat. Sementar aku dan Mila hanya diam. Karena satu, kami lapar karena belum sarapan, yang ke dua, kami kurang suka sama ide itu.
Tapi, mana mau kita nolak kalau melihat euphoria masa kanak-kanak itu sepertinya mampu menghibur teman-teman lain.
“Jadi nanti yang bikin tongkatnya siapa ni?” Ichwan bertanya. Matanya beredar mencari mangsa.
“Qona’ah wae,” Amik menjawab antusias. Kemudian disusul tawa dan gegap gempita dari teman-teman lain. Intinya semua menyetujuinya.
“Emoh ah, (Nggak mau ah)” si lembut Kana, menolak sambil malu-malu.
“Wuah iya-ya, Kana kan sekarang cewek,” Amik tergelak lagi.
Memang, dulu Kanalah sang hero kaum hawa kalo main kasti. Kalau kami tak punya tongkat untuk main kasti. Selalu Kana yang membuat dnegan kreativitasnya sendiri. Maklum, kalau bukan jam sekolah kami tak bias menggunakan tongkat kasti sungguhan. Dari cara buat sendiri itulah yang paling efektif demi tak menghalau gejolak euphoria yang merajalela menyatu dengan darah kanak-kanak.
Tongkat itu sederhana saja. Malah sangat mengarik karena lebih mudah untuk memukul bola. Bayangkan saja, tongkat itu hanya terbuat dari kayu leper yang ukurannya sekitar satu telapak tangan orang dewasa lazimnya. Ia tetap memberikan pegangan, dengan memperkecil kayu bagian bawah. Jadi bagian atas masih dibiarkan leper.
Ya itulah Kana yang heroik. Si tomboi yagn satu ini sekarang lemah lembutnya melebihi Marshanda waktu acting jadi Lala di bidadari.haha… ada-ada saja.
“Lha, yang cari bola siapa?” Eny bertanya. Semangatnya masih tak pudar. Malah ia semakin berbinar-binar. Seolah ingin segera menunaikan kesempakatan barusan.
“Tenang aja,” Ichwan mengangguk sekali. Sekali saja, sehingga terkesan bijak. Tapi tak dinyana, detik berikutnya lirikan tertuju pada Hilmiy.
“Wong tadi ngomong tenang kok langsung ngelirik aku,” papar Hilmiy apa adanya.
Serentak selurunya tergelak.
“Terus tongkatnya,”
“QONA’AH!!!” Hilmiy menegaskan sambil menunjuk-nunjuk Qona’ah alias Kana yang sepertinya tak yakin dengan keputusan sepihak itu.
Yupz!!! SEAPAKAT. Kan kasti pada hari selasa jam lima pagi. Masya Allah, sungguh kutak menyangka akhirnya disepakati juga. Padahal aku sudah tak punya selera kalo kasti. Permainan anak-anak itu tak lagi menarik buatku.
“Fina sama Mila kalo olahraga nggak pake rok lho, Ya!” Pak Achmad, masih seperti biasa.
“Ya, Pak Achmad juga nggak boleh pakek sarung,” tandah Hilmiy.
“Kalau aku kan pake celana panjang, jadi sarungnya tinggal dicopot kalo mau main,” jawab Pak Achmad. Ya beginilah. Selalu ada alasan untuk mengela. Maknaya kami sering dibikin skakmat.
“Kumpul di mana?” Ulfa bertanya.
“Di lapangan jam lima,” Ichwan menjawab tanpa mikir.
“JAM LIMA???” Beberapa anak kontan bersaut-sautan membelalak tak percaya.
Apalagi kaum adam di kelasku. Jam-jam segitu saatnya tarik selimut lagi setelah semalaman tak tidur sampai subuh.
Meski ada keluhan sana sini. Kesepakatan tetap dibungkus.
Pembicaraan melebar. Sebenanrya tadi niatnya sekedar membagikan tabungan kami dari kelas satu SMA. Aku malah baru ingat kalau dulu aku sempat nabung kelas. Kami terkekeh-kekeh menerimanya. Tak menyangka kalau akan menerima uang secara mendadak. Karena sebenarnya sudah lama masalah tabungan tak disinggung-singgung. Maka, setelah Mbak Amik sms meminta kami kumpul setelah upacara guna pembagian tabungan, maka berangkatlah kami dengan antusias. Hehe.
Tabunganku sudah berkurang lima puluh ribu. Aku ingat, waktu itu sempat kuambil untuk beli kaset film buat documenter sekolah bareng Feni.
Kami juga sempat membicarakan soal jemper yang rencana mau kita pesan. Hmm… apa aroma perpisahan sudah begitu dekat??? Ah kurasa… entahlah.
“Berapa to, Berapa?” Amri yang waktu itu duduk di samping Mas Hanif bertanya sambil memajukan tubuhnya yang terhalang meja biru. Meja biru tadi yang digunakan anak Partner untuk meletakkan lap top dan LCD waktu pemutaran film saat upacara.
“Jempernya seratus ribu,” Mbak Amik menjawab.
“Oke, kubayar!” Jawab Amri.
“Ya-ya, yang sudah kerja,” timpal Eny sambil main lirik ke arah Amri.
“Nggak gitu, ntar aku ngutang mbakku,” Amri terekekeh.
Rasa-rasanya satu kelas juga sudah tahu kalau Amri dan Panggih, semenjak selesai belajar pertanian di Bogor sempat ditawari pekerjaan di Solo.
Itulah kawan, kenapa kami sangat jarang berkumpul. Karena kami memang berpencar-pencar. Kalau kau sebut ini sekolah, rasanya tak pantas. Mana ada sekolah yang mengizikan muridnya menimba ilmu yang diminati selama berbulan-bulan. Bahkan terkecimpung lama di dalamnya selama hampir satu tahun. Sekolah mana pula yang mengizinkan siswa kelas tiga seperti Kana, PKL? Bukankah yang harusnya PKL (praktek kerja lapangan) itu siswa kelas dua. Itupun biasanya untuk anak sekolah kejuruan.
Sekolah mana pula yang mengizinkan siswanya memungut sampah??? Kalaupun ada, itupun hanya untuk kegiatan sesaat. Bukan suatu kegiatan untuk ditekuri. Pendek kata, hanya selingan dalam kepenatan belajar.
Kau juga mungkin tak pernah melihat, kawan ada sekolah yang mempersilahkan muridnya mencari-cari sampah plastik seperti As’ad. Tak tangung-tanggung. Ia mulai mengolah sampah-sampah itu untuk dijadikan bahan jadi. Didaur ulang gitulah. Nggak heran kalau kemana-mana, anak yang sejak SMP dulu akrab sama anak jalanan ini dengan bangga always mencangklong tas dari plastic detergen. Kukira ini wujud anak cinta negri yang sesungguhnya. Suka produk negri sendiri. Nggak tanggung-tanggung. Nggak cuma cukup dianggep produk negri, tapi lebih njarem kalo disebut produk local. Atau bahkan produk sendiri. Itulah wujud kepercayaan diri yang nyata.
Dan lain-lain dan lain-lain. Tak akan ada habisnya kalau berbicara soal sekolah bebas. Kata kepala sekolah, ini bukan sekolah.
Begini, kawan. Setidaknya aku akan memberi gambaran. Ini bukan sekolah tekhnologi, tapi membuat temanku Zulfi begitu menguasai computer hanya karena diberi kepercayaan. Hanya itu modalnya. Tak ada gojlogan-gojlogan apapun atau obsesi dari siapapun. Hanya kebebasan dan kepercayaan bahwa “You Will, You get it U CAN, YOU COULD,,
Ini juga tak seperti Institute Kesenian Jakarta, tapi membuat Mbak Maia makin berani merajut impiannya jadi seorang sutradara. Juga Ichwan yang makin mengeksplore daya kecerdasannya dibidang musik.
Sekolah kami juga bukan sekolah Pertanian juga bukan sekolah penulisan.
Argh. Sudah kubilang ini bukan sekolah. Ini hanya komunitas belajar.
Di sini tempat cari senang.
Salah tempat kalau kau (hanya) cari uang.
Di sini orang-orang penuh kreatifitas.

Cukup..cukup… sekali lagi, kalau kuteruskan tak akan ada habisnya…

“Beok ikut, Mil?” tanyaku setelah bertolak dari RC.
“Kayae enggah deh,” Jawabnya santai.
“IIIgh, tadi lho Pak Achmad itu… masa ngatain aku gitu. Haha, tapi untung yang dikatain bukan cuman aku,” tambahnya.
“Ya, Pak Achmad juga nggak boleh pake sarung kalo olahraga,” timpalku sambil cekikikan.
Kami berdua tak segera pulang, belok dulu ke rumah Mbak Ol. Ini hasil kreasi yang laris di desaku. Produksi tela-tela terbilang sukses. Terang saja, satu desa kelihatannya cuma di tempat ini yang jualan tela-tela. (Wuah..wuah) Tapi aku akui, tela-tela di sini lain. Apalagi kalau masih panas dan baladonya banyak. Hmmm… lezaaaat. Beda sekali dengan balado yang kubeli waktu liat pementasan teater di STAIN tahun lalu. Mungkin karena waktu itu sudah malam jadi ketelanya sudah lembek.

***
“Katanya jam lima???” sergahku begitu sampai lapangan pagi ini. Sesuai kesepakatan kemarin, kami harus kumpul di lapangan jam lima. JAM LIMA!!!
Tok..tok..tok, “Mik, Ayo!” Mila mengetuk jendela kamar Mbak Amik. Kebetulan lapangan ada di belakang rumah Mbak Amik. Dan kamarnya berada di dekat jalan paving.
“Hello!” Ulfa menyapa sambil menebar senyum lebarnya. Dari jauh, gingsul yang membuat dia tampak manis itu tak terlihat kentara. Tapi matanya yang sipit itu terlihat mengecil. Maklum kalau euphoria meluap-luap kesipitan itu jadi luar biasa dalemnya. Tapi itulah cirri khas Ulfa.
Ia berjalan di kejauhan. Bersama Izza di sampingnya. Tebaklah, kawan sesuatu apa yang paling membuat Izza memiliki daya tarik buatku. Sandalnya.
Kelihatannya lagi ikut menyemarakkan euphoria anak-anak didiknya di PAUD. Sandal kuning ngejreng yang dinamakan sandal baim itu melekat lucu di kakinya.
Baru beberapa saat setelah aku tertegun dengan sandal yang sebenarnya tak asing (karena sudah pernah Izza pakai waktu sekolah), Mbak Amik keluar dari pintu dapurnya dengan mengenakan sandal sama. Hanya saja punya Mbak Amik berwarna orange. Hanya saja aku heran, sejak kapan mereka suka waran yang ngejreng seperti itu? Kontras sekali dengan pakaian yang mereka kenakan saat itu. Izza dengan jaket abu-abu dan celana hitam, juga mbak Amik yang pakai celana hitam dan jaket Abu-abu tua.
“Kok ngejreng gitu to, Mbak?” tanyaku sambil nahan kegelianku melihat dua Ibu Guru Adituka itu.
“Lha habis nggak ada yang lain yo Za,yo?” jawab Mbak Amik sambil melirik sendalnya sendiri.
“Iya, Mik ya,”
“Eh tapi Santi waktu itu beli yang warna putih bagus lho,”
“Tapi gedhe,”timpal Izza.
“Huh! Cowok-cowok pada kemana si, katanya ngajak kumpul jam lima,” serga Mbak Amik waktu kami sudah mulai duduk di buk. Gundukan semen yang dijadikan tempat duduk di samping jalan paving.
Baru ngobrol beberapa saat anak-anak cowok sudah muncul dari dekat masjid. Tak dinyana di belakang mereka sudah ada Eny dengan kaos abu-abunya juga celana pendek hitam bergaris-garis. Rambutnya dikucir kuda ke belakang dengan satu jepit. Meski belum mandi, tapi sudah kelihatan segar. Dan pasti sudah wangi. Eny tipe cewek yang perfectionist. Benar-benar perempuan sejati.
Euh… sebentar-sebentar, sebelum banyak memperhatikan Eny dan anak cowok yang lagi menelusuri jalan paving untuk menuju ke arah kami, (eh maksudku ke arah lapangan). Aku mau memberitahumu soal sms yang baru saja kukirimkan pada seorang sahabat yang jauh di Jombang. Fitri.
Begini, kuceritakan saja kisah semalam. Sedikit saja. Sewaktu aku terkantuk-kantuk dicekam kelemahan karena stamina tubuhku menurun. Fitri sms,
“Teh lihat langit malam, bintang-bintang bertabur, indah sekali,”
Aku segera keluar. Aku suka sekali melihat langit malam. Ya, kurasa ini manusiawi. Di langitlah manusia biasa berimajinasi. Menciptakan khayalan-khayalan bisu dan merangkai aksara-aksara nama mereka untuk dijadikan metaphor-metaphor yang indah. Atau menjamah seluruh lembar tanpa batas itu lewat mata telanjang biasa saja sudah cukup menghasilkan berlembar-lembar karya.
Di atas…,
Biasanya lewat cahaya bisu para astronom sering dibuat terkagum-kagum dan semakin mengerutkan dahi untuk mencari tahu. Lagi, lagi dan lagi. Seperti takan akan pernah selesai. Tahun ini dan tahun berikutnya ada saja yang berbeda.
Ah… tapi langit malam ini mendung. Aku tak melihat apapun kecuali langit yang murung karena awan hitam dengan enaknya menyelimuti memberikan hawa dingin yang membuat langit terhalan untuk menceritakan sinaran. Tapi, mungkin biarlah langit malam di atasku istirahat dulu. Bisa jadi sedang malu melihatku. Aduuuh….
“Fit, di sini mendung. Di sana, kau lihat Venus?” tanyaku.
“Nggak ada Venus, Teh. Biasanya kalau di sini Venus terlihat kalau di sepertiga malam. Oh iya teh, kelihatannya teteh ada sesuatu, benarkan itu?”
Ouph… sesuatu???
Aku merasa tak ada sesuatu, atau mungkin aku melupakan sesuatu?
Sahabat yang satu ini, (yang mungkin sudah pantas kalau kujadikan saudara) memang peka. Entah bagaimana ia mengasahnya. Hanya saja ketika aku kelimpungan dia ikut kelimpungan. Kalau dia mengingat-ingatku aku jadi terpengaruh. Dia suka main hati. Lebih tepatnya, batin kali. Apa dia punya ilmu kebatinan??? Hallah! Apa to kok jadi ngelantur.
Ya empati seorang sahabat dekat kan memang besar. Apalagi kalau sedang dilanda perasaan yang sama. Sama-sama sedang terluka misalnya. Fewh… kadang aku mikir. Apa hati akan terasah dan peka ketika sedang dalam perenungan saat terluka???
Ah tapi apapun, manusia harusnya bisa bahagia. HARUSNYA LHO YA, HARUSNYA. Aku sendiri belum bisa… masih mencoba.
Aku dan dia membuat kesimpulan sederhana setelah pertemuan yang berakhir pada sabtu kemarin, bahwa “KITA SEBENARNYA PUNYA BANYAK ALASAN UNTUK BERBAHAGIA,”
Karena semalam aku tak lagi membicarakan Venus dengannya, mkaa pagi ini aku mengirim sms untuk menanggapai smsnya.
“Venus terlihat sekarang. Di bulang ini Venus jadi bintang pagi. Katnaya dia keluar empat jam sebelum matahari terbit dan empat jam setelah matahari terbit,” kukirim sms barusan. Pengetahuan itu kudapat dari buku pustaka ilmu satu. Tentang astronomi.

“Sori-sori, tadi nungguin Eny ini, to,” Mas Hilmiy menunjuk-nunjuk Eny.
“Enggak ding, aku tu udah nunggu dari tadi. Merekanya aja yang datangny telat,”
“Kok nggak berangkat sendiri, En?” Tanya.
“Hihi nggak berani,” jawabnya samabil cengar-cengir. Wajah putihnya itu tampak tambah segar. Apalagi dia amat antusias hari ini.
Anak-anak cowok segera berpencar dan menghambur di lapangan. Ada yang sudah berlari ada yang malah naik pohon di tepi lapangan. Ada yang sedang menyiapkan sesuatu untuk olah raga pertama selama kelas tiga ini.
Tak lama, kami dikumpulkan di lapangan setelah beberapa yang lain berdatangan. Kami membentuk empat barisan. Di depan ada aku, Kana, Ulfa dan Mas Hanif. Lainnya di belakang kami. Dan di depan kami, ada Ichwan yang memandu kami.
“Satu, dua, tiga empat, satu, dua, tiga, empat,” dia mengangguk-anggukkan kepala, memutar kepala. Menggerakkan kekiri, kekanan. Sampa pusing.
Berikutmua gantian Mas Hilmiy yang memandu. Ia gerakkan seluruh tubuh. Mulai dari kepala tangan, kaki hingga jari-jari.
“Apalagi ya?” ia berpikir untuk menentukan gerak selanjutnya, “Kuping, kuping,”
ANEH…
Haha, mungkin nggak enak kali kalau ada anggota tubuh yang masih tak bergerak.
Setelah pemanasan cukup, kami berlari. Dimulai dari Mas Hilmiy kemudian disusul yang lain. Tak tertib sekali larinya. Akibatnya banyak yang berhamburan. Tapi kami tetap berusaha mengitari lapangan empat ratus meter itu.
Ulfa yang kakinya baru saja cidera dari kecelakaan sepeda motor, akhirnya rela berada di urutan paling belakang.
“Kok malah lari Ul kalo lum sembuh betul,” tanyaku setelah Ulfa sampai.
“Kalau dimanjain terus ya nggak sembuh-sembuh,”
Tak berapa lama, cowok-cowok yang tadinya menambah satu kali putaran, berkumpul kembali.
“Oke sekarang kita main kasti ya,” tegas Ichwan.
“Tongkate endi, Cik?” Tanya Mas Hilmiy menagih.
“Loh kok aku to?”
“Lha teros???” Hilmiy tercekat. Tak ada satupun yang bawa tongkat.
Merasa punya inisiative, Mas Hanif cari kayu di dekat pondok. Ada dua kayu yang di dapat. Kemudian ia kembali ke lapnagan. Setelah itu mencobanya bersama anak-anak cowok lain.
“Wuah nggak enak itu, kucarikan punyaku aja,” timpal Amik tak meyakini hasil temuan Albert Einstein gondrong yang satu ini. Si jenius Suneo (julukan) harus dikalahkan dengan kejelian Marie curie Yunior seperti Amik.
Kecepatan reaksinya Amik melebihi kami kaum hawa yang hanya pasrah aja masalah tongkat begituan. Dia segera melenggang bareng Izza menuju rumahnya yang hanya berkisar beberapa meter saja dari lapangan. Mungkin karena kedekatan jarak itulah yang mempengaruhi kecepatannya. Karena waktu yang digunakan relative singkat ketimbang kami yang rumahnya lebih jauh darinya. Bukan cuma masalah jarak dan waktu sebenarnya. Tapi juga masalah benda juga yang akhirnya berpengaruh pada kecepatan. Bayangkan saja, rumah kami tak begitu dekat dengan lapangan belum lagi kalau ternyat atak punya benda yang bisa dijadikan tongkat. Harus nyari dulu. Atau…. Ah, tu kan berpengaruh pada kecepatan bukan.
Dan benar, kecepatan Mbak Amik memang di atas rata-rata kecepatan anak kelas. Hanya membayangkan kalau semua anak kelas pulang kemudian jarak dan waktu dibagikan untuk mengetahui kecepatan masing-masing. Kemduain dijumlahkan seluruhnya. Dan dirata-rata. Pasti nilai Mbak Amik bakalan lebih unggul dari rata-rata. Ada si yang kelihatannya nilainya agak sama. Kana. Ya anak itu rumahnya juga dekat. Tapi kelihatannya Kana lagi nggak mood bikin tongkat. Maka bisa dipastikan kalau kecepatannya juga bisa dikurangi.
HALLAH!!! OPO TO, JADI MAIN NGGAK NI???

Setelah mencoba-coba tongkat dan bola, setelah Mbak Amik sampai beserta Izza, dan setelah semuanya siap kami memilih tempat untuk suit.
“Aku sama siapa?” Eny bertanya. Sambil sesekali melirik ke arahku. Perlu diketahui, waktu SD tepatnay saat kami sama-sama mengais ilmu disebuah Madrasah Ibtida’iyah, aku selalu suit sama Eny. Maka,
“Yo, sama aku aja,”
Eny mengiyakan saja.
Satu…dua…tiga…
Yupz aku menang saat mengeluarkan jari telunjuk dan Eny mengeluarkan jari manis.
“Yah, Eny Kalah,” Eny mendesah.
Yah, menang. Kita-kira begitu teriakan batinku. Terang saja, aku sudah sangat lama tak main kasti. Bukan hanya itu, aku juga bukan pelari yang baik, dan bukan cuma itu lagi, aku trauma sama bola, dan bukan cuma itu, bukan cuma itu…
“Oke, semua pemain ke sini!” Pak Achmad yang baru saja datang dengan masih dalam keadaan rapi. -Berjaket putih dan bersarung bersih, serta membawa camera digital-
Membarikan clue untuk kami.
“Jadi semuanya nanti kalau main harus bisa memukul bola? Kalo nggak bisa diulang, gitu, Pak?” Mbak Amik memastikan.
“Yupz,”
Memang nggak biasanya. Kalau kasti, kena atau nggak kena si pemain tetap lari.
“Kita main baseball saja, jadi ora dikejet (bola yang apabila dilempar mengenai pemain yang berlari di luar pos, maka seluruh pemain yang tadinya menang harus gentian berjaga,). Jadi misalnya Eny sudah membawa bolanya, dia tinggal menyentuh tangannya ke Pos, yang baru saja berlari hendak menuju pos akan gugur. Nah, kelompok yang menang akan mati setelah enam kali gugur,” begitu clue Pak Achmad.
“Katane dalam satu pos nggak boleh ada dua anak ya?”
“Lha piye (gimana)?” Pak Achmad menawarkan.
“Boleh aja, Pak,” timpal Hilmiy.
“Ya wis, tapi..”
“Kan ini baseball kasti, Pak,”
Yupz, itulah permainan kami kali ini. Baseball Kasti. Gabungan antara basball dan kasti. Kami ambil yang mudah-mudahnya saja.
Aku, Mila dan Mbak Amik. Itulah cewek-cewek di kelompokku. Selebihnya ada Ghiyast (anak kelas dua), Ichwan dan Himiy.
Ichwan mengawali permainan.
Ia lari tunggang langgang begitu bola berhasil ia pukulkan. Tapi mendadak, bola sudah berada di tangan Eny. Si penjaga pos pertama. Dengan segera, Eny melempar bola itu hingga mengenai pos sebelum Ichwan berhasil sampai.
Hufff, kelihatannya Eny juga ketularan punya jiwa Baseball kasti.
“Siapa nih yang mau main duluan?” Mas Hilmiy menawari sambil menenteng tongkat setelah Ichwan berhasil sampai pos.
“Aku wae yo,” lanjutnya.
Jeda kemudian, dia bersiap dengan posisinya. Di belakangnya ada Ulfa sebagai penjaga dari kelompok yang satunya.
“Wis? Siap?” Zulfi menggenggam erah bola di tangan kanannya.
“Key, Yo!” Mas Himiy sudah standby dengan tongkat kayu di tangannya. Laganya sudah mirip Babe Ruth saja. Apalagi, ditambah topi hitam duplikat topi Babe Ruth. Beuh, mirip bosss!!! Tapi, apa dia bisa hit more than 50 home runs in a season like him???
Tak lama, lemparan dari Zulfi melesat juga. Yupz lemparan yang eksotik. Mudah dipukul. Dan bisa menghasilkan reaksi yang indah.
Zulfi emang Ronge Clemes kami.Baru kali ini kami tahu kalau Zulfi punya lemparan paling bagus daripada anak-anak lain. Setidaknya jika dibanding, Ghiyast, Mas Hilmiy atau Mas Hanif.
Permainan cukup seru. Pukul sana, pukul sini Lari sana-lari sini.. Tangkap sana, tangkap sini Lembar sana-lempar sini. (kasian ya udah mukul, lari, ketangkep eh dilempar,,, hehe bukan gitu ding maksudnyaa). The maksud is, bolanya itu yang dipukul.
Seru…seruuu banget.
Eny, beberapa kali berhasil memukul bola hijau yang tak bisa mental di tanah itu. Tapi sayang, tak sekalipun ia berhasil mendiami pos. karena Mas Hilmiy yang jaga pos telah lebih dulu dapat bola. Hmmm… Eny kelihatannya masih terbawa dulu. Caranay memukul bola, caranya berlari.
Kemudian Izza. Dia malah semapai terpeleset karena hawatir tak bisa menggapai pos. dengan larinya yang cepat, ia tak melihat apa yang dilaluinya. Sehingga ia tak tahu kalau di dekat pos memang jarang ditumbuhi rumput. Jadinya tanah yang masih becek terkena air hujan kemarin itu membuat izza tak bisa mengerem kakinya. Aku jadi ingat dulu, ia pernah dikejet dan menggelepar. Tapi tak seperti kali ini yang yang langsung sergera beranjak. Dulu, dengan jaket kuningnya, dengan rambut yang dikuncir, ia malah tetap santai sambil berpose layaknya Jinni Oh Jinni. Mungkin energi mengaktifan darah keremajaannya waktu itu belum begitu kentara. Sehingga fine-fine aja meski bajunya terkotori tanah. Kaya iklan detergen yang “Kotor itu creative”
Mungkin sekarang, darah remaja itu sudah aktif. Apalagi sudah menginjak remaja akhir. Pasti sudah amat aktif. Sehingga bisa dilihat raksinya. Baru saja terjatuh sudah langsung naik. Reaksi itu terlihat remaja sekali. Bisa dipastikan kalau anak-anak yang terjatuh seperti itu. Mungkin tak segera bangkit. Malah menikmati tubuhnya yang belepotan tanah. Atau mula-mulai akan menekuk lututnya dulu, berhenti sejenah, baru setelah itu berdiri pelan-pelan.
Yah, intinya, permainan anak remaja yang rindu masa kanak-kanak memang lucu. Di sini, aku melihat cirri khas teman-temanku yang tak berbeda.
Seperti juga Ulfa yang cara mainnya masih sama seperti dulu. Membanting bola, tidak melemparnya.
Hihi…
Setelah kelompokku main dan kelompok yang satunya juga sudah main, akhrinya kami memutuskan untuk menyudahi. Sebenarnya permasalah utamanya adalah bola kasti murahan itu.
“Besok lagi kalo cari yang bekas tapi asli. Jangan yang baru tapi nggak bagus,” pesan Pak Achmad.
Fowh… dua bola kasti murahan itu harus sekarat semuanya. Menyedihkan. Kedua-duanya broken. Nakal si. Gimana nggak pada mules, orang itu bola nggak bisa mantul di tanah.
“Sekarang mau ngapain ni?” Ichwan bertanya. Mencoba cari ide kelihatannya.
“Betengan aja yuk!” Usul Eny berapi-api.
Usulan Eny hanya disambut hangat, tapi tak diiyakan sepenunya. Hari sudah siang. Kami harus segera pulang.
“Gimana kalau kita ke kali?” Ajak Ichwan.
“YUUUUK!”
Anak-anak yang jarang olah raga bareng ini emang lagi nggak mau melewatkan moment-moment berharga. Sepertinya, Ichwan juga lagi berusaha mikir ide-ide creativenya buat make something memory buat anak creative kids yang udah kelas tiga SMU ini.
Kaki-kaki kotor itu akhrinya melangkah juga menuju timur. Kami tetap bersenda gurau sambil menelusuri jalan setapak menuju kali.
Hanya beberapa menit saja, sebuah hamparan luas menyapu pemandangan kami. Sawah itu…
Inilah tempat yang paling banyak memberikan kenangan waktu SMP. Saat pembuatan cover album suara lintang, waktu pelajaran Bahasa Indonesia bersama Bu Muna, waktu Study garder bersama Bu Dwi, waktu kami sama-sama cari kodok untuk didiagnosa, dan saat-saat lain yang indah.
Di depanku, Eny bergandengan dengan Kana. Seperti selalu ada titik kerinduan yang menggetarkan. Canda riang itu… yah, kami memang jarang berkumpul. Apalagi Kana yang akhir-akhir ini disibukkan dengan belajar film di Tengaran, dan Eny yang sedang siap menyongosng Ujian Nasional. Ah, ini waktu yang tepat untuk membuat rangkaian memori.
Kami berjalan, tetap menyusuri jalan setapak yang penuh memori ini. Hingga sampailah kami di Belik Luwing. Anak-anak cowok yang berjalan di depan segera turun menyongsong mata air. Sementara aku dan beberapa kaum hawa lain masih di belakang. Di tempat inilah kami pernah belajar Sejarah bersama tiga tahun yang lalu. Aku masih sangat ingat. Waktu itu kami duduk di atas sana…
“Hey sendalku!” Eny berteriak ketika melihat sendalnya mengikuti arus. Duwh ini anak, pake nyebur di parit segala.
Karena waktu itu hanya aku dan Mila yang ada di dekatnya, kami berusaha menolong meski tak yakin. Mila turun ke parit, berusaha mengejar sandal dengan langkah berat. Sementara aku berjalan di samping parit yang banyak rumput-rumput liar.
“Ayo dong nyangkut, nyangkut,” Seru Eny penuh harap supaya sendalanya tersangkut sesuatu.
Tapi apa daya, sandal sudah lebih dulu lari. Kelihatannya memang sudah berenacana untuk melarikan diri dari pemiliknya.
Di bawah, anak-anak tertawa cekikikan menertawakan kami setelah kami menyusul.
Rasanya sudah tak begitu ingat sandal itu lagi begitu melihat air kali yang lebih mirip kolam renang mini itu. Ya, ini mata air, kawan. Sudah direnovasi berkali-kali. Dulunya airnya sangat deras. Mampu mengairi berbagai desa.
Aku mengikuti cara teman-temanku yang sudah mencelupkan kaki di kolam itu. Membiarkan kaki-kaki kotor dimanjakan air. Tak ada acara ciprat-cipratan, tak ada acara basah-basahan, kami biarkan harmoni udara mengalun indah. Mendengarkan suara-suara alam, mengeja rayuan makhluk-makhluk hijau bernama sawah di sekitar kami.
Hantaman angin yang lemah gemulai menyerbu pelan-pelan. Dingin kali ini terasa begitu indah. Meski di langit tak ada kepakan sombong burung-burung yang biasanya menari-nari memamerkan sayapnya. Tak ada pula awan tebal yang berarak indah mendekor langit. Yang memenuhi keindahan troposphere adalah warna langit yang biru bening.
Taukah kawan, aku pernah berdecak kagum di sautu tempo karena melihat kebiruan yang indah di langit. Biru cerah yang sudah lama kurindukan. Benar-benar kurindukan. Karena berbulan-bulan sebelumnya langit terlihat muram. Berhari-hari pula aku merindukan sinar matahari yang pasti.
Pernahkah kau lihat langit biru tanpa awan sama sekali? Kalau pernah, ingat-ingatlah dan nikmatilah keindahannya. Bersih, tanpa noda, seperti bayi baru lahir. Mata hari yang merekah pasti itu laksana mata-mata bayi yang berbinar setelah berhasil membuka mata dengan pasti pula. Ah indah sekali…
Kata Pak Achmad sinar matahari sebenarnya merupakan gabungan beberapa septrum warna yang memiliki perbedaan frekwensi. Dimilai dari warna merah yang frekuwensinya paling lemah. Sampai warna ungu yang paling kuat. Ketika melewati atmosfir, sinar-sinar ini dihamburkan oleh partikel-partikel udara. Makin kuat frekwensinya, makin ia dihamburkan. Warna biru menjadi yang paling dominant di langit siang karena yang dihamburkan adalah hijau, biru dan ungu. Warna merah menjadi dominant di langit pagi dan sore karena sinar menempuh perjalanan lebih jauh di udara, sehingga yang tersisa adalah warna merah.
Langit itu, kini makin indah. Karena diselimuti aurora yang menawan. Bukan aurora seperti yang ada di belantara Amazonia. Lapisan warna yang mengagumkan itu juga tak mirip dengan cahaya udara yang pernah melintasi Canada.
Inilah cahaya terindah yang begitu jarang terpancar. Cahaya yang bersumber dari hati yang terdalam. Berbagai warna itu menyatu dengan keindahan yang eksotik, elegan dan fantastic. Membentuk spectrum-spektrum rahasia yang memenuhi jiwa.
Andai kami bisa memaknai segala sesuatu dengan sangat luas, maka banyak hal yang sebenarnya tak terjangkau oleh kata-kata sastrawan dan penyair manapun…




***

UPACARA !!!

Senin 27 April 2007

Pagi ini kuedit ulang video yang rencana mau kuputar di acara upacara nanti. Aku masih nggak tau kenapa hasil editanku kemarin belum bias dirender tuntas. Kucba lagi, masih begitu.
Kuputuskan unduk men-delt beberapa data tak penting. Video-video hasil copian atau yang sudah ada duplikatnya langsung kubuang. Beberapa saat setelah banyak yang terbuang, memory hardiskku bertambah. Kucoba render ulang, Alhamdulillah sampai tuntas.
Eforiaku meluap-luap. Antara haru dan penuh harap. Kusend sms buat teman-teman kelas agar hari ini mengikuti upacara agar bisa melihat video tentang kelas ini. Aku ingin mereka turut mengenang kebersamaan yang dulu pernah mewarnai lembar perjalanan masa SMP. Aku ingin memperlihatkan kembali semangat yang dulu pernah dibina bersama-sama.
“Ntar datang upacara ya!”

Sudah hampir jam delapan. Aku tak sabar ingin memutar video itu di depan seluruh anak Alternatif. Berharap film ini bisa menginspirasi, memotifasi dan memompa semangat seluruh anak.
***

“Kok belum kelihatan?” sms Mas Hilmiy.
“Ya bentar lagi.”

Aku berjalan sambil menahan senyum. Kukenakan kemeja larik-larik milik Ibuku, rok hitam pekat, dan jilbab putih milik adikku. Rasa percaya diri dan semangat benar-benar memenuhi setiap aliran darah. Geloranya makin terasa, terus meluap-luap.
Langkahku pasti. Sudah lama tak kurasakan suasana seperti ini. Mungkin setahun ini, setelah anak season satu pindah. Karena suasana seperti ini biasanya terjadi saat hendak memberikan karya pada acara gelar karya. Biasanya dentum-dentum kegembiraan itu mewarnai langkah-langkahku dan anak season lain ketika mau berangkat. Tak sabar ingin melihat ekspresi teman-teman saat karya kami dipertunjukkan.
Setelah beberapa anak pindah, season jarang berkarya. Hanya sekali itupun waktu tujuh belasan dan aku tak ikut karena waktu itu sudah berangkat mondok puasanan.
Dan setelah tampilan “TAK SEKOLAHPUN AKU BISA PINTAR” itu, season tak lagi menyumbang karya film.Tak pernah sekalipun sampati detik ini.
Anak season kali ini lebih bakat di bidang tarik suara. Arin, Tia, apalagi Putri. Maka tak heran kalau season pernah menampilkan lagunya Emha Ainun Nadjib waktu acara buka bersama. Sebuah tampilan yang hampir mustahil ditampilkan oleh anak season satu yang tak begitu suka sama seni tarik suara.
Aku tak bisa sepenuhnya mengurai makna. Hanya langkah-langkah inilah yang begitu membuatu bersemangat hari ini.Langit biru itu begitu bersahabat meski tak ada awan gemawan yang tebal. Tapi indahanya tetap menelisik setiap ruang jiwaku. Energi keelokan warna cerah itu melintas bening ke dalam batinku. Sasarannya sangat tepat.
Aku melewati perempatan, jalan lurus mengikuti alur aspal, belok di samping rumah Shalma(anak kelas 4 Q-tha), jalan lurus lagi, belok di belakang RC, melewati rumah mbah Lam, jalan lurus ke utara. Dan…. Kerinduan itu tak juga hilang.
Kurasa kau pernah merasakan kerinduan seperti ini. Rindu pada suasana yang sudah lama tak dirasa.
Dengan amat sangat percaya diri, kusongsong RC. Tak segera masuk, aku tahu anak-anak lain belum banyak yang berkumpul. Semua masih berpencar di sekeliling sekolah. Ada yang masih di rumah Mbah Lam, ada yang ngobrol di depan RC, ada yang di Shake, ada yang ngobrol di pelataran RC pula.
“Gimana, Za?” kutanya Izza yang sedang asik ngobrol bareng Bang Tholib dan Amri. Aku segera mendekat. Berharap menemukan jawaban yang menggugah semangat. Atau setidaknya jawaban yang membuatnya berderai-derai terharu.
Tak ada jawaban pasti atas pertanyaanku tentang hasil ujiannya masuk perguruan tinggi. Tapi lewat ekspresi yang ditawarkan, aku langsung membaca jawaban itu. Seringainya memancar isyarat jelas.
Aku masih tersenyum, berharap ia akan tetap berderai-derai terharu bahagia setelah melihat video tentang kelas yang kubawa.
Setelah sebentar ngobrol, aku melesat masuk ke RC. Di dalam, suasana lengang. Hanya ada beberapa anak yang duduk sambil ngobrol. Di depan, di dekat laptop dan LCD yang sudah menyala, dan ada Mas Hilmiy dan Ichwan. Sedang membicarakan sesuatu. Aroma semangat yang tak jauh beda, sudah tercium hanyut sampai dasar jiwa optimisme yang merajut-rajut seperti tak pernah putus.
“Mas,”Sapaku sambil mendekat.
Dan, tak kusapa manusia berjaket merah di depannya. Kebiasaan yang sudah bukan lagi hal yang perlu dipertanyakan. Yah, akibat termakan gossip dan lain sebagainya, akhirnya aku benar-benar tak bisa menyapa makhluk yang dulunya pendiam itu. Beginilah, aku yang punya sebenarnya punya jiwa pendiam ini hampir tak pernah bisa berkutik di depan makhluk pendiam. Tak peduli perempuan atau laki-laki.
Dan dia juga tak mau menyapa meski menyadari kehadiranku. Ia tetap sibuk dengan catatannya. Seperti sedang merencanakan sesuatu.
“Mana filmnya” Mas Hilmiy dengan topi hitamnya, menoleh sekenanya. Tak ada sebentuk senyum. Laki-laki ini kalau tak serius ya pasti kocak. Sangat jarang bermanis-manis ria.
“Nih,” kuulurkan flashdisk putih yang kupinjam dari Khusnul.
“Dicopy aja di folder video,” pintanya. Kemudian mengalihkan perhatian ke Ichwan lagi.
Segera kusongsong laptop milik kepala sekolah. Kubuka eksplorer. Kumasukkan flashdisk, dan menunggu data di dalamnya bisa segera tampak.
Tak kusangka, data-data itu hanya muncul sebentar, hanya beberapa menit kemudian tenggelam lagi. Kutunggu, tak ada jawaban pasti dari si kecil flash. Kutarik kembali beda itu, kumasukkan lagi. Tetap tak mau tampak.
“Mas nggak bisa,”
Mas Hilmiy mendekat dan membenarkan. Aku beranjak menyongsong Ulfa yang sedang memilih-milih buku di deretan rak RC setelah sebelumnya ia memanggilku untuk menunjukkan sesuatu.
“Baca ini, Mbak!” perintahnya.
Aku menelisik perkalimat di dalamnya. Kurasa tak ada yang aneh. Tapi Ulfa masih senyum-senyum menggoda seperti yang biasanya terjadi. Senyum itu pasti mau meledekku. Atau lebih tepatnya menggosipkanku.
“Wuuu dasar!” kututup buku itu begitu tahu ada kata Ikhwan di dalamnya.
“Eh Mbak…” lagi-lagi anak ini cerita soal comment Ichwan . Kutanggapi sekenanya saja. Setelah itu berusaha mengalihkan perhatian. Membicarakan banyak hal seputar buku-buku RC yang pernah kami baca. Dia promosi, aku juga promosi.
Tapi sampai saat itu, aku masih harap-harap cemas, apakah acara kali ini akan semeriah yang kubayangkan atau sebaliknya.
Beberapa saat, acara dimulai. Ichwan berperan jadi moderator. Hari ini Zulfah yang setiap jadi moderator acara tak berangkat. Bang Minan juga sebentar lagi harus izin.
“Sini aja, Mbak,”Ulfa membawaku duduk di samping kanannya. Di samping kiriku ada Hana, adikku.
“Oke, sekarang semuanya kumpul sama anak-anak kelasnya masing-masing,” perintah Ichwan yang kemudian membagi-bagi tempat bagi masing-masing kelas. Sepertinya sedang terinspirasi sama upacara sungguhan yang biasanya berlangsung di sekolah-sekolah formal. Atau ada maksud lain?
Kutengahi dugaanku, aku segera melesat ke tempat anak kelas enam.
Bikin malu anak kelas aja, Wan..wan. Batinku sambil terkekeh.
Dengan dikumpulkan seperti ini. Tabiat anak kelasku anak kentara. Anak-anak kelas paling males ikut upacara beginian. Lebih suka berangkat kalau acara upacara dan segala tetekbengeknya sudah selesai.
Waduuuh, padahal harapanku hari ini anak-anak kelas bisa nonton wajah-wajah lugunya dulu.
Aku mendongak-dongak, melihat lagi dan lagi ke arah pintu masuk RC.Berharap agar anak kelasku yang lain segera hadir.
Ichwan masih mengulur dialog pembuka sebelum akhirnya filmku diputar juga di depan wajah-wajah anak QT yang sepertinya mulai merindukan film produk local yang sudah jarang dipertontonkan.
Sebenarnya film ini sudah sangat lama dan pernah ditayangkan di acara gelar karya waktu mengangkat tempat HIV AIDS. Eitz… tapi ini bukan film soal AIDS. Ini hanya sumbangan karya penghibur waktu itu.
“Nanti sampeya ya Mbak ya yang presentasi, soalnya aku mau pergi,” Cak Minan membisikiku.
“Enggak ah, Mas Hilmiy aja,”
Cak Minan berbalik membisiki hal yang tak jauh beda pada Mas Hilmiy. Dan apesnya, Mas Hilmiy melempar ke aku lagi. Begitu seterusnya sehingga akhirnya kami sepakat untuk presentasi bareng-bareng. Tapi…
“Nanti yang presentasi kamu sama Ichwan,”
“Tapi…” lidahku tercekat. Rasanya tak adil kalau harus membedakan. Tapi, harapanku yang ikut berpresentasi adalah anak yang sejak awal ikut proses.
“Ya sudah,” aku menyerah.

“Wihihiiiihihihiiiihihi..hi hiyombom bowe…” suara lucu khas film produksi season itu keluar menggelegar. Seluruh anak menertawakan suara itu.
“Wheeee, Season,” ucap seorang anak. Mungkin ia juga sudah merindukan karya-karya kami…(ciyee… geer banget.)
Tak lama, sebuah melody slow mengalun. Menggetarkan, menelisik salah satu ruang sepi dalam sukma. Kemudian, muncullah puisi yang mencoba bermain dalam intuisi. Berbicara dan berdialog dari hati ke hati.

“Dariku, untukmu,” tulisan itu terpambang besar. Penuh penghayatan dan penuh pesan yang dalam.
Tak lama, suara Eny saat kelas 2 SMP lalu terdengar,“Everybody in this world certain have many desire. Because it make, make this life more….”
Setelah sekian lama, aku mencari…sebuah cinta sejati.
Lagu ciptaan Naim yang dinyanyikan Emy dan dewi-dewi yang dulu sempat direkam itu mengalun menengahi dialog Eny. Berikutnya, adegan-adegan penuh kenangan terlihat silih berganti. Adegan kelas satu dan kelas dua.
Begitu banyak perhatianmu yang telah kau berikan padaku.
Gambar bu Dwi menyelingi, memancarkan titik kerinduan yang mengalir deras. Kemudian gambar Emy kecil terpambang,
“Aku senang sekolah di sini. Di sini aku lebih mendapatkan pengetahuan luas dari mereka,” ucapnya meyakinkan…
Hanya sekilas saja, setelah itu adegan berubah.
Maafkanlah sayang, buatmu menungggu, tapi kini kupastikan aku bersamamu. Hanyalah untukmu kuberikan segalanya yang tebaik dari diriku untukmu.

kumpul kelas

Sabtu, 11 April 2009

Seperti kesepakatan minggu lalu. Kami kumpul sekitar jam sembilan. Dan memang, aku beserta Mila berangkat jam sembilan lewat. Tapi sampai sekolah, kelas belum dimulai. Malah RC sudah ramai karena ada tamu. Dan Mbak Amik, Izza juga Eny langsung menawarkan produk barunya. Sudah kuduga, pasti cokelat. Sebab minggu lalu sewaktu menjalankan tugas koperasi, Mbak Amik banyak cerita soal rencana cokelat itu.

Tak berapa lama setelah promosi, kami segera kumpul di depan masjid. Belum banyak yang datang. Maka dari itu kami menunggu.

Enam tahun hampir berlalu. Kutengok sebentar foto-foto kami waktu kelas satu dulu. Kebetulan aku menyimpannya di binder. Kemudian kulihat teman-temanku yang sekarang. Hmmm… banyak yang berubah. Kecuali Pak Achmad. Pendamping kami yang satu itu, tetap tak berubah stylenya. Bedanya dulu berjenggot, tapi sekarang sudah dipangkas.

Begitulah, aku melihat banyak hal yang berubah. Unik-unik dan lucu-lucu.

Sebentar kemudian, As’ad datang dengan skuter antiknya. Mencangklong tas hasil daur ulang, mengenakan kalung rantai, dan berjalan dengan cara jalan yang tak berubah. Tetap khas.

Berikut, mulai datang Ichwan. Meski baru, tapi sudah banyak perubahan. Rocker yang satu satu ini mendadak ganti kostum akhir-akhir ini. Pakai sarung, dan pakai peci. Khas santri.

“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” ucap Pak Achmad. Kami menjawab salam itu, sebelum akhirnya Pak Achmad memulai kegiatan weekend ini.

Sebenarnya, mau ngomong soal Produksinya Izza CS. Tapi tak jadi karena mereka belum siap mempresentasikan. Maka, selanjutnya pembahasan diambil alih Ichwan yang ngomong soal film yang seminggu lalu sempat kami sepakati.

Ichwan tak banyak berbicara meski kami yang sudah melingkar ini telah siap memperhatikan. Dialog selanjutnya dilemparkan ke Mbak Maia dengan tema yang sama. Maka, mulailah penulis skrip ini menceritakan sinopsisnya untuk kemudian dibahas lebih lanjut.

“Jadi ada dua orang. Namanya Joni sama Jagad. Si Joni ini selalu negative thingking. Nah, si Jagad ini selalu positive thingking. Padahal Jagad banyak tertimpa sial dan punya wajah yang tak seganteng Joni. Tapi ia tetap bersyukur dengan keadannya. Beda dengan Joni yang sudah serba lebih tapi sering mengeluh,”

Kira-kira seperti itu. Tapi itu baru sekilas karena ternyata Mbak Maia belum menemukan konfliknya. Kami sempat membahas sebentar. Tapi tak efektif. Selanjutnya Amri, Hilmiy, Ichwan dan Mbak Maia berdialog berempat. Yang lain sibuk dengan obrolan masing-masing. Baru setelah mereka mendapatkan ide kembali, kami mendengarkan dengan seksama.

Setelah Ichwan memaparkan hasil kesepakatan mereka berempat. Kami merembug ini itunya. Diputuskan bahwa kami tak banyak mengeluarkan uang iuran karena ternyata uang kelas yang dipercayakan pada Emy masih berjumlah enam ratus ribu.

Rapat soal film sementara selesai. Berikutnya, Izza CS mulai membagikan cokelat. Bukan gratis. Karena bagi yang mau, harus mengeluarkan uang seribu perak untuk bisa menikmati buah karya mereka. Cokelat putih atau cokelat hitam.

Sambil menikmati, ada pemaparan sangat lama dari Mas Fafa, tamu yang sering berkunjung ke sekolah kami.

Karena terlalu lama berdialog, akibatnya banyak yang pulang satu persatu tanpa ada pembubaran kelas lebih dahulu.

Aku yang rencananya mau makan cokelat setelah kumpul kelas, jadi rela makan di tempat karena nggak sabar.

Sekali gigit… Hmm… rasanya, nggak seperti silver quin. Hehe, soalnya tadi aku udah kebayang rasa silver quin si… terus… Hmm… lumayan tapi kurang ada isinya. Kan enak kalau missal dikasi mette atau kismis, atau apalah biar nggak begitu lekat cokelatnya. Gigit lagi… duuuh, cokletanya tebel. Lumayan keras si. Tapi rasanya ada yang kurang. Masih gimana ya…

Ah tapi, gimana-gimana juga akhirnya habis. Eitz… kebetulan ada tamu banyak banget. Remaja-remaja. Akhirnya kutawarkanlah cokelat-cokelat yang tersisa. Alhamdulillah pada beli dan habis akhirnya. Karena tinggal satu, kubelilah cokelat itu. Aku penasaran sama yang warna putih.

Tak kumakan di tempat, kumakan di rumah, setelah sebelumnya nyelonong pergi sebelum kelas benar-benar ditutup.

Yang putih… hmm.. rasanya beda si. Tapi sensenya, tak jauh beda. Memang ada yang kurang. Rasanya, ples isinya…

Tapi lumayanlah, produksi pertama, dan kemasannnya menarik perhatian.