Sabtu, 18 April 2009

Arti teman lebih dari sekedar materi…

7 April 2009-04-17

Hari ini shoot lagi.. tapi hanya satu scene karena crew tak begitu siap. Musti ke sana kemari karena memang dadakan.

Lumayanlah dapat adegan di rumah Mbah Lam. Meski hanya tiga dialog tapi menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam untuk persiapan dan lain sebagainya.

Sebelum shoot kami rapat sebentar, membicarakan kelanjutan video diary ini.

Aku, sebagai sutradara mentahan ini alias masih setengah mateng emang lagi belajar. Tapi, aku akan berusaha sebisaku. Hehe, berusaha bikin film ini maximal.

Mulai sabtu sampai selasa, banyak crew yang tak bisa ikut. Karena harus mempersiapkan teater ke Semarang. Tapi Alhamdulillah, tim kami solid-solid. Buktinya begitu kukatakan untuk anak yang tak ikut teater senin pengambilan gambar lagi, mereka semangat.

Oke guys, aku akan berusaha jadi sutradara yang baik. Biar cukup sutradaranya aja yang mentahan tapi film kita nggak boleh mentahan.

Mereka teman-teman yang baik…

^_^

Sore ini, lagi-lagi aku harus punya alasan untuk berbahagia lagi. Putri mengajakku ke desa sebelah.

“Beli Nasgor, Mbak,” ucapnya dari ambang pintu kamar depan.

Aku yang lagi siap-siap menggelar sajadah di karpet hijau ruang tamu segera menjawab.

“Ya shalat dulu,”

Tak lama aku jama’ah bareng Hana di atas karpet hijau yang baru aja digunakan ngaji Ibuku dan mbak-mbak pondok. Hijau… ah indahnya. Ini warna kesukaan Rasulullah juga nenekku. Tapi eitz… shalatku mulai makin tak khusyuk begitu berdiri pada rakaat ke tiga. Hampir raka’at terakhir. Ibuku menggelar sajadah di samping Hana. Agak ke belakang. Rasanya perutku serasa digelitiki. Aku geli karena punya firasat kalau Ibu bakalan ma’mum aku. Dan benar setelah Ibu mengenakan mukena dan menyiapkan posisi, juga di saat aku sudah pada raka’at ke empat Ibu mengikuti gerakanku.

Mungkin teringat Mbah Yai Mahrus Lirboyo kali ya. Kuceritakan sedikit saja. Suatu ketika Pak Dhe Zan, Kangnya Emakku pernah telat mengikuti jama’ah shalat subuh sewaktu masih di pondok. Gara-garanya Mbah Yai juga telat dan tidak membangunkannya. Karena biasanya Pak Dhe selalu dibangungkan Mbah Yai tiap memasuki waktu jama’ah subuh.

Pak Dhe segera mengambil air wudhu dan segera melaksanakan shalat. Di tengah-tengah shalat, tiba-tiba Mbah Yai yang juga terlambat jama’ah memposisikan di belakang Pak Dhe. Kemudian menjadi ma’mum. Subhanallah. Pak Dheku langsung gemetaran. Bagaimana tidak, Kyai besar dari pondok besar yang punya santri ribuan ma’mum seoarang santri yang waktu itu masih baru.

Oke kembali ke kami.

Aku tak mempermasalahkan keadaanku yang harus jadi Imam Ibuku. Karena aku tahu, Ibu juga tak mempermasalahkannya.

Segera setelah mengantarkan salam untuk Rasulullah sebagai penutup shalat ashar kali ini, kusempatkan dzikir panjang dahulu. Ya, biar bagaimanapun aku berusaha sekuat hati untuk konsen meski nyatanya belum seperti yang kuinginkan. Karena anganku masih mblayang kemana-mana.

“Ayo, Mbak!” Ajak Putri setelah keluar lagi dari kamar depan.

Aku hanya mengangguk, mulutku masih bergerak-gerak.

Kuperingkas dzikirku. Kasian Putri yang nunggu. Segera kulepas mukena terusanku. Kulipat dan kugulung berbalut sajadah. Aku beranjak dan meletakkannya di kamar. Setelah itu ke kamar mandi untuk melepas baju shalatku untuk mengganti dengan pakaian biasa. Setelah siap, kuambil jaket dan melesat ke depan. Tia, Khusnul, Hana, Arin, dan Putri sudah menunggu. Sementara Mila masih di kamar. Tak lama, setelah Mila keluar kami beranjak.

Jalan menuju tempat tujuan memang tak dekat. Kami harus menyusuri gang-gang yang berkelok-kelok.

Sesampainya, kami memesan. Ada yang pesan nasi goreng, Mie Tiok, dan aku pesan bubur kacang Ijo ples coffee mix. Hehe…

Ini ultah Putri yang ke 13, hmmm… udah mulai ABG. Met Ultah Putri.

Moga makin baik, makin baik, dan terus baik. Disayang Allah, disayang Rasulullah, di sayang Ortu, dan disayang semua orang. Moga tercapai cita-cita mulianya. Dan be happy always. Raih cinta-Nya, dapatkan surga-Nya.^_^ Barakallah…

Alfatihah…

Hampir maghrib, kami pulang. Di tengah jalan, adzan maghrib berkumandang. Adzan Kalibening terdengar khas. Itu suara Kang pondok idola Mila, aku tahu itu. Hehe…

Semburat warna jingga di ufuk barat kian memesona. Bagai sutera bidadari yang menjuntai karena habis berlarian menuju langit. Di barat daya, di atas gunung warna merah menyapu rata petala langit. Selaksa uraian sketsa darah para Syuhada’ yang merona semangat jihadnya.

Rumah-rumah sudah menunjukkan kedamaiannya menyambut malam. Seorang nenek, kulihat sedang mengguyurkan air dari ember sumur ke tangannya untuk bersuci. Ia telah siap sowan kepada-Nya di maghrib yang indah ini. lampu-lampu rumahan menyala-nyala. Merekah membentuk nuansa khas petang yang selalu syarat makna.. Inilah waktu yang indah. Awal sebuah perenungan atas aktifitas sehari-hari. Waktu beristirahat untuk yang bekerja seharian. Waktu berteduh untuk yang diterjang kebekuan selama satu hari. Waktu untuk mulai merenung bagi para penyair. Waktu untuk merangkum ideology-ideology bagi para pemikir. Waktu yang indah….

Kumandang adzan bersaut-sautan dari berbagai penjuru. Aku sampai bingung harus menjawab yang mana. Tapi hatiku berusaha berdzikir dan bershalawat menguntai syukur yang melimpah.

Shalawat terus menggema di hati, apalagi begitu lewat tempat sepi seperti gang yang di sekitarnya sepi. Terlebih, suasana mulaigelap…

Tapi tak membuat kami takut. Sama sekali tidak. Karena kami percaya, Dia akan menjaga kami… ^_^

Kamu sangat berarti,

Istimewa di hati

Selamanya rasa ini

Jika tua nanti kita telah hidup masing-masing

Ingatlah hari ini…