Rabu, 06 Mei 2009

BASEball-KASTI

28 April 2009-04-29
SPECIAL DAY
“KASTI???”
Aku cuma diam tanpa memberi komentar waktu ide itu keluar dari sang ketua kelas waktu rapat kemarin. Terang saja, kasti bagiku dan mungkin bagi sebagian dari teman-temanku hanyalah mainan anak-anak kecil. Kami saja terakhir memainkan enam tahun yang lalu. Bisa dikata, sejak SMP kami sudah tak pernah lagi menyentuh tongkat kasi atau bola kasti. Terakhir kami memainkannya, adalah SD. Bayangkan ENAM TAHUN!!! Bukankah tak berlebihan kalau kami menaganggap bahwa kasti hanyalah permainan anak-anak yang hanya mungkin menarik dimainkan oleh anak-anak. Maksudku itu menurut kami yang sekarang memang jarang berolah raga bersama apalagi main-main. Fuwh… boro-boro. Kumpul kelas aja harus seminggu sekali. Itupun kadang tak lengkap. Aktifitas yang berbeda-beda itulah yang membuat kami jarang punya waktu bersama. Lhah ini? Malah mau kasti???
Sekali lagi aku tak berkomen meski teman-teman banyak yang merespon. Malah, ada yang berkelakar dengan antusias mengulur memori-memori lalu sewaktu kami masih terperangkan dalam euphoria masa kanak-kanak.
Memori kasti memang seabreg. Terutama untuk kami, anak-anak yang asli Kalibening. Karena dari kecil bersama, maka seluk beluk cerita dalam permainan pun sama. Maka kasti menjadi salah satu hal untuk mengingat yang lucu-culu mengenai masa laluku.
Tapi tunggu dulu, tungguh dulu….
Kelihatannya teman-teman benar-benar atusias. Eny, Izza, Ulfa, Amik, Kana mereka semua semangat. Sementar aku dan Mila hanya diam. Karena satu, kami lapar karena belum sarapan, yang ke dua, kami kurang suka sama ide itu.
Tapi, mana mau kita nolak kalau melihat euphoria masa kanak-kanak itu sepertinya mampu menghibur teman-teman lain.
“Jadi nanti yang bikin tongkatnya siapa ni?” Ichwan bertanya. Matanya beredar mencari mangsa.
“Qona’ah wae,” Amik menjawab antusias. Kemudian disusul tawa dan gegap gempita dari teman-teman lain. Intinya semua menyetujuinya.
“Emoh ah, (Nggak mau ah)” si lembut Kana, menolak sambil malu-malu.
“Wuah iya-ya, Kana kan sekarang cewek,” Amik tergelak lagi.
Memang, dulu Kanalah sang hero kaum hawa kalo main kasti. Kalau kami tak punya tongkat untuk main kasti. Selalu Kana yang membuat dnegan kreativitasnya sendiri. Maklum, kalau bukan jam sekolah kami tak bias menggunakan tongkat kasti sungguhan. Dari cara buat sendiri itulah yang paling efektif demi tak menghalau gejolak euphoria yang merajalela menyatu dengan darah kanak-kanak.
Tongkat itu sederhana saja. Malah sangat mengarik karena lebih mudah untuk memukul bola. Bayangkan saja, tongkat itu hanya terbuat dari kayu leper yang ukurannya sekitar satu telapak tangan orang dewasa lazimnya. Ia tetap memberikan pegangan, dengan memperkecil kayu bagian bawah. Jadi bagian atas masih dibiarkan leper.
Ya itulah Kana yang heroik. Si tomboi yagn satu ini sekarang lemah lembutnya melebihi Marshanda waktu acting jadi Lala di bidadari.haha… ada-ada saja.
“Lha, yang cari bola siapa?” Eny bertanya. Semangatnya masih tak pudar. Malah ia semakin berbinar-binar. Seolah ingin segera menunaikan kesempakatan barusan.
“Tenang aja,” Ichwan mengangguk sekali. Sekali saja, sehingga terkesan bijak. Tapi tak dinyana, detik berikutnya lirikan tertuju pada Hilmiy.
“Wong tadi ngomong tenang kok langsung ngelirik aku,” papar Hilmiy apa adanya.
Serentak selurunya tergelak.
“Terus tongkatnya,”
“QONA’AH!!!” Hilmiy menegaskan sambil menunjuk-nunjuk Qona’ah alias Kana yang sepertinya tak yakin dengan keputusan sepihak itu.
Yupz!!! SEAPAKAT. Kan kasti pada hari selasa jam lima pagi. Masya Allah, sungguh kutak menyangka akhirnya disepakati juga. Padahal aku sudah tak punya selera kalo kasti. Permainan anak-anak itu tak lagi menarik buatku.
“Fina sama Mila kalo olahraga nggak pake rok lho, Ya!” Pak Achmad, masih seperti biasa.
“Ya, Pak Achmad juga nggak boleh pakek sarung,” tandah Hilmiy.
“Kalau aku kan pake celana panjang, jadi sarungnya tinggal dicopot kalo mau main,” jawab Pak Achmad. Ya beginilah. Selalu ada alasan untuk mengela. Maknaya kami sering dibikin skakmat.
“Kumpul di mana?” Ulfa bertanya.
“Di lapangan jam lima,” Ichwan menjawab tanpa mikir.
“JAM LIMA???” Beberapa anak kontan bersaut-sautan membelalak tak percaya.
Apalagi kaum adam di kelasku. Jam-jam segitu saatnya tarik selimut lagi setelah semalaman tak tidur sampai subuh.
Meski ada keluhan sana sini. Kesepakatan tetap dibungkus.
Pembicaraan melebar. Sebenanrya tadi niatnya sekedar membagikan tabungan kami dari kelas satu SMA. Aku malah baru ingat kalau dulu aku sempat nabung kelas. Kami terkekeh-kekeh menerimanya. Tak menyangka kalau akan menerima uang secara mendadak. Karena sebenarnya sudah lama masalah tabungan tak disinggung-singgung. Maka, setelah Mbak Amik sms meminta kami kumpul setelah upacara guna pembagian tabungan, maka berangkatlah kami dengan antusias. Hehe.
Tabunganku sudah berkurang lima puluh ribu. Aku ingat, waktu itu sempat kuambil untuk beli kaset film buat documenter sekolah bareng Feni.
Kami juga sempat membicarakan soal jemper yang rencana mau kita pesan. Hmm… apa aroma perpisahan sudah begitu dekat??? Ah kurasa… entahlah.
“Berapa to, Berapa?” Amri yang waktu itu duduk di samping Mas Hanif bertanya sambil memajukan tubuhnya yang terhalang meja biru. Meja biru tadi yang digunakan anak Partner untuk meletakkan lap top dan LCD waktu pemutaran film saat upacara.
“Jempernya seratus ribu,” Mbak Amik menjawab.
“Oke, kubayar!” Jawab Amri.
“Ya-ya, yang sudah kerja,” timpal Eny sambil main lirik ke arah Amri.
“Nggak gitu, ntar aku ngutang mbakku,” Amri terekekeh.
Rasa-rasanya satu kelas juga sudah tahu kalau Amri dan Panggih, semenjak selesai belajar pertanian di Bogor sempat ditawari pekerjaan di Solo.
Itulah kawan, kenapa kami sangat jarang berkumpul. Karena kami memang berpencar-pencar. Kalau kau sebut ini sekolah, rasanya tak pantas. Mana ada sekolah yang mengizikan muridnya menimba ilmu yang diminati selama berbulan-bulan. Bahkan terkecimpung lama di dalamnya selama hampir satu tahun. Sekolah mana pula yang mengizinkan siswa kelas tiga seperti Kana, PKL? Bukankah yang harusnya PKL (praktek kerja lapangan) itu siswa kelas dua. Itupun biasanya untuk anak sekolah kejuruan.
Sekolah mana pula yang mengizinkan siswanya memungut sampah??? Kalaupun ada, itupun hanya untuk kegiatan sesaat. Bukan suatu kegiatan untuk ditekuri. Pendek kata, hanya selingan dalam kepenatan belajar.
Kau juga mungkin tak pernah melihat, kawan ada sekolah yang mempersilahkan muridnya mencari-cari sampah plastik seperti As’ad. Tak tangung-tanggung. Ia mulai mengolah sampah-sampah itu untuk dijadikan bahan jadi. Didaur ulang gitulah. Nggak heran kalau kemana-mana, anak yang sejak SMP dulu akrab sama anak jalanan ini dengan bangga always mencangklong tas dari plastic detergen. Kukira ini wujud anak cinta negri yang sesungguhnya. Suka produk negri sendiri. Nggak tanggung-tanggung. Nggak cuma cukup dianggep produk negri, tapi lebih njarem kalo disebut produk local. Atau bahkan produk sendiri. Itulah wujud kepercayaan diri yang nyata.
Dan lain-lain dan lain-lain. Tak akan ada habisnya kalau berbicara soal sekolah bebas. Kata kepala sekolah, ini bukan sekolah.
Begini, kawan. Setidaknya aku akan memberi gambaran. Ini bukan sekolah tekhnologi, tapi membuat temanku Zulfi begitu menguasai computer hanya karena diberi kepercayaan. Hanya itu modalnya. Tak ada gojlogan-gojlogan apapun atau obsesi dari siapapun. Hanya kebebasan dan kepercayaan bahwa “You Will, You get it U CAN, YOU COULD,,
Ini juga tak seperti Institute Kesenian Jakarta, tapi membuat Mbak Maia makin berani merajut impiannya jadi seorang sutradara. Juga Ichwan yang makin mengeksplore daya kecerdasannya dibidang musik.
Sekolah kami juga bukan sekolah Pertanian juga bukan sekolah penulisan.
Argh. Sudah kubilang ini bukan sekolah. Ini hanya komunitas belajar.
Di sini tempat cari senang.
Salah tempat kalau kau (hanya) cari uang.
Di sini orang-orang penuh kreatifitas.

Cukup..cukup… sekali lagi, kalau kuteruskan tak akan ada habisnya…

“Beok ikut, Mil?” tanyaku setelah bertolak dari RC.
“Kayae enggah deh,” Jawabnya santai.
“IIIgh, tadi lho Pak Achmad itu… masa ngatain aku gitu. Haha, tapi untung yang dikatain bukan cuman aku,” tambahnya.
“Ya, Pak Achmad juga nggak boleh pake sarung kalo olahraga,” timpalku sambil cekikikan.
Kami berdua tak segera pulang, belok dulu ke rumah Mbak Ol. Ini hasil kreasi yang laris di desaku. Produksi tela-tela terbilang sukses. Terang saja, satu desa kelihatannya cuma di tempat ini yang jualan tela-tela. (Wuah..wuah) Tapi aku akui, tela-tela di sini lain. Apalagi kalau masih panas dan baladonya banyak. Hmmm… lezaaaat. Beda sekali dengan balado yang kubeli waktu liat pementasan teater di STAIN tahun lalu. Mungkin karena waktu itu sudah malam jadi ketelanya sudah lembek.

***
“Katanya jam lima???” sergahku begitu sampai lapangan pagi ini. Sesuai kesepakatan kemarin, kami harus kumpul di lapangan jam lima. JAM LIMA!!!
Tok..tok..tok, “Mik, Ayo!” Mila mengetuk jendela kamar Mbak Amik. Kebetulan lapangan ada di belakang rumah Mbak Amik. Dan kamarnya berada di dekat jalan paving.
“Hello!” Ulfa menyapa sambil menebar senyum lebarnya. Dari jauh, gingsul yang membuat dia tampak manis itu tak terlihat kentara. Tapi matanya yang sipit itu terlihat mengecil. Maklum kalau euphoria meluap-luap kesipitan itu jadi luar biasa dalemnya. Tapi itulah cirri khas Ulfa.
Ia berjalan di kejauhan. Bersama Izza di sampingnya. Tebaklah, kawan sesuatu apa yang paling membuat Izza memiliki daya tarik buatku. Sandalnya.
Kelihatannya lagi ikut menyemarakkan euphoria anak-anak didiknya di PAUD. Sandal kuning ngejreng yang dinamakan sandal baim itu melekat lucu di kakinya.
Baru beberapa saat setelah aku tertegun dengan sandal yang sebenarnya tak asing (karena sudah pernah Izza pakai waktu sekolah), Mbak Amik keluar dari pintu dapurnya dengan mengenakan sandal sama. Hanya saja punya Mbak Amik berwarna orange. Hanya saja aku heran, sejak kapan mereka suka waran yang ngejreng seperti itu? Kontras sekali dengan pakaian yang mereka kenakan saat itu. Izza dengan jaket abu-abu dan celana hitam, juga mbak Amik yang pakai celana hitam dan jaket Abu-abu tua.
“Kok ngejreng gitu to, Mbak?” tanyaku sambil nahan kegelianku melihat dua Ibu Guru Adituka itu.
“Lha habis nggak ada yang lain yo Za,yo?” jawab Mbak Amik sambil melirik sendalnya sendiri.
“Iya, Mik ya,”
“Eh tapi Santi waktu itu beli yang warna putih bagus lho,”
“Tapi gedhe,”timpal Izza.
“Huh! Cowok-cowok pada kemana si, katanya ngajak kumpul jam lima,” serga Mbak Amik waktu kami sudah mulai duduk di buk. Gundukan semen yang dijadikan tempat duduk di samping jalan paving.
Baru ngobrol beberapa saat anak-anak cowok sudah muncul dari dekat masjid. Tak dinyana di belakang mereka sudah ada Eny dengan kaos abu-abunya juga celana pendek hitam bergaris-garis. Rambutnya dikucir kuda ke belakang dengan satu jepit. Meski belum mandi, tapi sudah kelihatan segar. Dan pasti sudah wangi. Eny tipe cewek yang perfectionist. Benar-benar perempuan sejati.
Euh… sebentar-sebentar, sebelum banyak memperhatikan Eny dan anak cowok yang lagi menelusuri jalan paving untuk menuju ke arah kami, (eh maksudku ke arah lapangan). Aku mau memberitahumu soal sms yang baru saja kukirimkan pada seorang sahabat yang jauh di Jombang. Fitri.
Begini, kuceritakan saja kisah semalam. Sedikit saja. Sewaktu aku terkantuk-kantuk dicekam kelemahan karena stamina tubuhku menurun. Fitri sms,
“Teh lihat langit malam, bintang-bintang bertabur, indah sekali,”
Aku segera keluar. Aku suka sekali melihat langit malam. Ya, kurasa ini manusiawi. Di langitlah manusia biasa berimajinasi. Menciptakan khayalan-khayalan bisu dan merangkai aksara-aksara nama mereka untuk dijadikan metaphor-metaphor yang indah. Atau menjamah seluruh lembar tanpa batas itu lewat mata telanjang biasa saja sudah cukup menghasilkan berlembar-lembar karya.
Di atas…,
Biasanya lewat cahaya bisu para astronom sering dibuat terkagum-kagum dan semakin mengerutkan dahi untuk mencari tahu. Lagi, lagi dan lagi. Seperti takan akan pernah selesai. Tahun ini dan tahun berikutnya ada saja yang berbeda.
Ah… tapi langit malam ini mendung. Aku tak melihat apapun kecuali langit yang murung karena awan hitam dengan enaknya menyelimuti memberikan hawa dingin yang membuat langit terhalan untuk menceritakan sinaran. Tapi, mungkin biarlah langit malam di atasku istirahat dulu. Bisa jadi sedang malu melihatku. Aduuuh….
“Fit, di sini mendung. Di sana, kau lihat Venus?” tanyaku.
“Nggak ada Venus, Teh. Biasanya kalau di sini Venus terlihat kalau di sepertiga malam. Oh iya teh, kelihatannya teteh ada sesuatu, benarkan itu?”
Ouph… sesuatu???
Aku merasa tak ada sesuatu, atau mungkin aku melupakan sesuatu?
Sahabat yang satu ini, (yang mungkin sudah pantas kalau kujadikan saudara) memang peka. Entah bagaimana ia mengasahnya. Hanya saja ketika aku kelimpungan dia ikut kelimpungan. Kalau dia mengingat-ingatku aku jadi terpengaruh. Dia suka main hati. Lebih tepatnya, batin kali. Apa dia punya ilmu kebatinan??? Hallah! Apa to kok jadi ngelantur.
Ya empati seorang sahabat dekat kan memang besar. Apalagi kalau sedang dilanda perasaan yang sama. Sama-sama sedang terluka misalnya. Fewh… kadang aku mikir. Apa hati akan terasah dan peka ketika sedang dalam perenungan saat terluka???
Ah tapi apapun, manusia harusnya bisa bahagia. HARUSNYA LHO YA, HARUSNYA. Aku sendiri belum bisa… masih mencoba.
Aku dan dia membuat kesimpulan sederhana setelah pertemuan yang berakhir pada sabtu kemarin, bahwa “KITA SEBENARNYA PUNYA BANYAK ALASAN UNTUK BERBAHAGIA,”
Karena semalam aku tak lagi membicarakan Venus dengannya, mkaa pagi ini aku mengirim sms untuk menanggapai smsnya.
“Venus terlihat sekarang. Di bulang ini Venus jadi bintang pagi. Katnaya dia keluar empat jam sebelum matahari terbit dan empat jam setelah matahari terbit,” kukirim sms barusan. Pengetahuan itu kudapat dari buku pustaka ilmu satu. Tentang astronomi.

“Sori-sori, tadi nungguin Eny ini, to,” Mas Hilmiy menunjuk-nunjuk Eny.
“Enggak ding, aku tu udah nunggu dari tadi. Merekanya aja yang datangny telat,”
“Kok nggak berangkat sendiri, En?” Tanya.
“Hihi nggak berani,” jawabnya samabil cengar-cengir. Wajah putihnya itu tampak tambah segar. Apalagi dia amat antusias hari ini.
Anak-anak cowok segera berpencar dan menghambur di lapangan. Ada yang sudah berlari ada yang malah naik pohon di tepi lapangan. Ada yang sedang menyiapkan sesuatu untuk olah raga pertama selama kelas tiga ini.
Tak lama, kami dikumpulkan di lapangan setelah beberapa yang lain berdatangan. Kami membentuk empat barisan. Di depan ada aku, Kana, Ulfa dan Mas Hanif. Lainnya di belakang kami. Dan di depan kami, ada Ichwan yang memandu kami.
“Satu, dua, tiga empat, satu, dua, tiga, empat,” dia mengangguk-anggukkan kepala, memutar kepala. Menggerakkan kekiri, kekanan. Sampa pusing.
Berikutmua gantian Mas Hilmiy yang memandu. Ia gerakkan seluruh tubuh. Mulai dari kepala tangan, kaki hingga jari-jari.
“Apalagi ya?” ia berpikir untuk menentukan gerak selanjutnya, “Kuping, kuping,”
ANEH…
Haha, mungkin nggak enak kali kalau ada anggota tubuh yang masih tak bergerak.
Setelah pemanasan cukup, kami berlari. Dimulai dari Mas Hilmiy kemudian disusul yang lain. Tak tertib sekali larinya. Akibatnya banyak yang berhamburan. Tapi kami tetap berusaha mengitari lapangan empat ratus meter itu.
Ulfa yang kakinya baru saja cidera dari kecelakaan sepeda motor, akhirnya rela berada di urutan paling belakang.
“Kok malah lari Ul kalo lum sembuh betul,” tanyaku setelah Ulfa sampai.
“Kalau dimanjain terus ya nggak sembuh-sembuh,”
Tak berapa lama, cowok-cowok yang tadinya menambah satu kali putaran, berkumpul kembali.
“Oke sekarang kita main kasti ya,” tegas Ichwan.
“Tongkate endi, Cik?” Tanya Mas Hilmiy menagih.
“Loh kok aku to?”
“Lha teros???” Hilmiy tercekat. Tak ada satupun yang bawa tongkat.
Merasa punya inisiative, Mas Hanif cari kayu di dekat pondok. Ada dua kayu yang di dapat. Kemudian ia kembali ke lapnagan. Setelah itu mencobanya bersama anak-anak cowok lain.
“Wuah nggak enak itu, kucarikan punyaku aja,” timpal Amik tak meyakini hasil temuan Albert Einstein gondrong yang satu ini. Si jenius Suneo (julukan) harus dikalahkan dengan kejelian Marie curie Yunior seperti Amik.
Kecepatan reaksinya Amik melebihi kami kaum hawa yang hanya pasrah aja masalah tongkat begituan. Dia segera melenggang bareng Izza menuju rumahnya yang hanya berkisar beberapa meter saja dari lapangan. Mungkin karena kedekatan jarak itulah yang mempengaruhi kecepatannya. Karena waktu yang digunakan relative singkat ketimbang kami yang rumahnya lebih jauh darinya. Bukan cuma masalah jarak dan waktu sebenarnya. Tapi juga masalah benda juga yang akhirnya berpengaruh pada kecepatan. Bayangkan saja, rumah kami tak begitu dekat dengan lapangan belum lagi kalau ternyat atak punya benda yang bisa dijadikan tongkat. Harus nyari dulu. Atau…. Ah, tu kan berpengaruh pada kecepatan bukan.
Dan benar, kecepatan Mbak Amik memang di atas rata-rata kecepatan anak kelas. Hanya membayangkan kalau semua anak kelas pulang kemudian jarak dan waktu dibagikan untuk mengetahui kecepatan masing-masing. Kemduain dijumlahkan seluruhnya. Dan dirata-rata. Pasti nilai Mbak Amik bakalan lebih unggul dari rata-rata. Ada si yang kelihatannya nilainya agak sama. Kana. Ya anak itu rumahnya juga dekat. Tapi kelihatannya Kana lagi nggak mood bikin tongkat. Maka bisa dipastikan kalau kecepatannya juga bisa dikurangi.
HALLAH!!! OPO TO, JADI MAIN NGGAK NI???

Setelah mencoba-coba tongkat dan bola, setelah Mbak Amik sampai beserta Izza, dan setelah semuanya siap kami memilih tempat untuk suit.
“Aku sama siapa?” Eny bertanya. Sambil sesekali melirik ke arahku. Perlu diketahui, waktu SD tepatnay saat kami sama-sama mengais ilmu disebuah Madrasah Ibtida’iyah, aku selalu suit sama Eny. Maka,
“Yo, sama aku aja,”
Eny mengiyakan saja.
Satu…dua…tiga…
Yupz aku menang saat mengeluarkan jari telunjuk dan Eny mengeluarkan jari manis.
“Yah, Eny Kalah,” Eny mendesah.
Yah, menang. Kita-kira begitu teriakan batinku. Terang saja, aku sudah sangat lama tak main kasti. Bukan hanya itu, aku juga bukan pelari yang baik, dan bukan cuma itu lagi, aku trauma sama bola, dan bukan cuma itu, bukan cuma itu…
“Oke, semua pemain ke sini!” Pak Achmad yang baru saja datang dengan masih dalam keadaan rapi. -Berjaket putih dan bersarung bersih, serta membawa camera digital-
Membarikan clue untuk kami.
“Jadi semuanya nanti kalau main harus bisa memukul bola? Kalo nggak bisa diulang, gitu, Pak?” Mbak Amik memastikan.
“Yupz,”
Memang nggak biasanya. Kalau kasti, kena atau nggak kena si pemain tetap lari.
“Kita main baseball saja, jadi ora dikejet (bola yang apabila dilempar mengenai pemain yang berlari di luar pos, maka seluruh pemain yang tadinya menang harus gentian berjaga,). Jadi misalnya Eny sudah membawa bolanya, dia tinggal menyentuh tangannya ke Pos, yang baru saja berlari hendak menuju pos akan gugur. Nah, kelompok yang menang akan mati setelah enam kali gugur,” begitu clue Pak Achmad.
“Katane dalam satu pos nggak boleh ada dua anak ya?”
“Lha piye (gimana)?” Pak Achmad menawarkan.
“Boleh aja, Pak,” timpal Hilmiy.
“Ya wis, tapi..”
“Kan ini baseball kasti, Pak,”
Yupz, itulah permainan kami kali ini. Baseball Kasti. Gabungan antara basball dan kasti. Kami ambil yang mudah-mudahnya saja.
Aku, Mila dan Mbak Amik. Itulah cewek-cewek di kelompokku. Selebihnya ada Ghiyast (anak kelas dua), Ichwan dan Himiy.
Ichwan mengawali permainan.
Ia lari tunggang langgang begitu bola berhasil ia pukulkan. Tapi mendadak, bola sudah berada di tangan Eny. Si penjaga pos pertama. Dengan segera, Eny melempar bola itu hingga mengenai pos sebelum Ichwan berhasil sampai.
Hufff, kelihatannya Eny juga ketularan punya jiwa Baseball kasti.
“Siapa nih yang mau main duluan?” Mas Hilmiy menawari sambil menenteng tongkat setelah Ichwan berhasil sampai pos.
“Aku wae yo,” lanjutnya.
Jeda kemudian, dia bersiap dengan posisinya. Di belakangnya ada Ulfa sebagai penjaga dari kelompok yang satunya.
“Wis? Siap?” Zulfi menggenggam erah bola di tangan kanannya.
“Key, Yo!” Mas Himiy sudah standby dengan tongkat kayu di tangannya. Laganya sudah mirip Babe Ruth saja. Apalagi, ditambah topi hitam duplikat topi Babe Ruth. Beuh, mirip bosss!!! Tapi, apa dia bisa hit more than 50 home runs in a season like him???
Tak lama, lemparan dari Zulfi melesat juga. Yupz lemparan yang eksotik. Mudah dipukul. Dan bisa menghasilkan reaksi yang indah.
Zulfi emang Ronge Clemes kami.Baru kali ini kami tahu kalau Zulfi punya lemparan paling bagus daripada anak-anak lain. Setidaknya jika dibanding, Ghiyast, Mas Hilmiy atau Mas Hanif.
Permainan cukup seru. Pukul sana, pukul sini Lari sana-lari sini.. Tangkap sana, tangkap sini Lembar sana-lempar sini. (kasian ya udah mukul, lari, ketangkep eh dilempar,,, hehe bukan gitu ding maksudnyaa). The maksud is, bolanya itu yang dipukul.
Seru…seruuu banget.
Eny, beberapa kali berhasil memukul bola hijau yang tak bisa mental di tanah itu. Tapi sayang, tak sekalipun ia berhasil mendiami pos. karena Mas Hilmiy yang jaga pos telah lebih dulu dapat bola. Hmmm… Eny kelihatannya masih terbawa dulu. Caranay memukul bola, caranya berlari.
Kemudian Izza. Dia malah semapai terpeleset karena hawatir tak bisa menggapai pos. dengan larinya yang cepat, ia tak melihat apa yang dilaluinya. Sehingga ia tak tahu kalau di dekat pos memang jarang ditumbuhi rumput. Jadinya tanah yang masih becek terkena air hujan kemarin itu membuat izza tak bisa mengerem kakinya. Aku jadi ingat dulu, ia pernah dikejet dan menggelepar. Tapi tak seperti kali ini yang yang langsung sergera beranjak. Dulu, dengan jaket kuningnya, dengan rambut yang dikuncir, ia malah tetap santai sambil berpose layaknya Jinni Oh Jinni. Mungkin energi mengaktifan darah keremajaannya waktu itu belum begitu kentara. Sehingga fine-fine aja meski bajunya terkotori tanah. Kaya iklan detergen yang “Kotor itu creative”
Mungkin sekarang, darah remaja itu sudah aktif. Apalagi sudah menginjak remaja akhir. Pasti sudah amat aktif. Sehingga bisa dilihat raksinya. Baru saja terjatuh sudah langsung naik. Reaksi itu terlihat remaja sekali. Bisa dipastikan kalau anak-anak yang terjatuh seperti itu. Mungkin tak segera bangkit. Malah menikmati tubuhnya yang belepotan tanah. Atau mula-mulai akan menekuk lututnya dulu, berhenti sejenah, baru setelah itu berdiri pelan-pelan.
Yah, intinya, permainan anak remaja yang rindu masa kanak-kanak memang lucu. Di sini, aku melihat cirri khas teman-temanku yang tak berbeda.
Seperti juga Ulfa yang cara mainnya masih sama seperti dulu. Membanting bola, tidak melemparnya.
Hihi…
Setelah kelompokku main dan kelompok yang satunya juga sudah main, akhrinya kami memutuskan untuk menyudahi. Sebenarnya permasalah utamanya adalah bola kasti murahan itu.
“Besok lagi kalo cari yang bekas tapi asli. Jangan yang baru tapi nggak bagus,” pesan Pak Achmad.
Fowh… dua bola kasti murahan itu harus sekarat semuanya. Menyedihkan. Kedua-duanya broken. Nakal si. Gimana nggak pada mules, orang itu bola nggak bisa mantul di tanah.
“Sekarang mau ngapain ni?” Ichwan bertanya. Mencoba cari ide kelihatannya.
“Betengan aja yuk!” Usul Eny berapi-api.
Usulan Eny hanya disambut hangat, tapi tak diiyakan sepenunya. Hari sudah siang. Kami harus segera pulang.
“Gimana kalau kita ke kali?” Ajak Ichwan.
“YUUUUK!”
Anak-anak yang jarang olah raga bareng ini emang lagi nggak mau melewatkan moment-moment berharga. Sepertinya, Ichwan juga lagi berusaha mikir ide-ide creativenya buat make something memory buat anak creative kids yang udah kelas tiga SMU ini.
Kaki-kaki kotor itu akhrinya melangkah juga menuju timur. Kami tetap bersenda gurau sambil menelusuri jalan setapak menuju kali.
Hanya beberapa menit saja, sebuah hamparan luas menyapu pemandangan kami. Sawah itu…
Inilah tempat yang paling banyak memberikan kenangan waktu SMP. Saat pembuatan cover album suara lintang, waktu pelajaran Bahasa Indonesia bersama Bu Muna, waktu Study garder bersama Bu Dwi, waktu kami sama-sama cari kodok untuk didiagnosa, dan saat-saat lain yang indah.
Di depanku, Eny bergandengan dengan Kana. Seperti selalu ada titik kerinduan yang menggetarkan. Canda riang itu… yah, kami memang jarang berkumpul. Apalagi Kana yang akhir-akhir ini disibukkan dengan belajar film di Tengaran, dan Eny yang sedang siap menyongosng Ujian Nasional. Ah, ini waktu yang tepat untuk membuat rangkaian memori.
Kami berjalan, tetap menyusuri jalan setapak yang penuh memori ini. Hingga sampailah kami di Belik Luwing. Anak-anak cowok yang berjalan di depan segera turun menyongsong mata air. Sementara aku dan beberapa kaum hawa lain masih di belakang. Di tempat inilah kami pernah belajar Sejarah bersama tiga tahun yang lalu. Aku masih sangat ingat. Waktu itu kami duduk di atas sana…
“Hey sendalku!” Eny berteriak ketika melihat sendalnya mengikuti arus. Duwh ini anak, pake nyebur di parit segala.
Karena waktu itu hanya aku dan Mila yang ada di dekatnya, kami berusaha menolong meski tak yakin. Mila turun ke parit, berusaha mengejar sandal dengan langkah berat. Sementara aku berjalan di samping parit yang banyak rumput-rumput liar.
“Ayo dong nyangkut, nyangkut,” Seru Eny penuh harap supaya sendalanya tersangkut sesuatu.
Tapi apa daya, sandal sudah lebih dulu lari. Kelihatannya memang sudah berenacana untuk melarikan diri dari pemiliknya.
Di bawah, anak-anak tertawa cekikikan menertawakan kami setelah kami menyusul.
Rasanya sudah tak begitu ingat sandal itu lagi begitu melihat air kali yang lebih mirip kolam renang mini itu. Ya, ini mata air, kawan. Sudah direnovasi berkali-kali. Dulunya airnya sangat deras. Mampu mengairi berbagai desa.
Aku mengikuti cara teman-temanku yang sudah mencelupkan kaki di kolam itu. Membiarkan kaki-kaki kotor dimanjakan air. Tak ada acara ciprat-cipratan, tak ada acara basah-basahan, kami biarkan harmoni udara mengalun indah. Mendengarkan suara-suara alam, mengeja rayuan makhluk-makhluk hijau bernama sawah di sekitar kami.
Hantaman angin yang lemah gemulai menyerbu pelan-pelan. Dingin kali ini terasa begitu indah. Meski di langit tak ada kepakan sombong burung-burung yang biasanya menari-nari memamerkan sayapnya. Tak ada pula awan tebal yang berarak indah mendekor langit. Yang memenuhi keindahan troposphere adalah warna langit yang biru bening.
Taukah kawan, aku pernah berdecak kagum di sautu tempo karena melihat kebiruan yang indah di langit. Biru cerah yang sudah lama kurindukan. Benar-benar kurindukan. Karena berbulan-bulan sebelumnya langit terlihat muram. Berhari-hari pula aku merindukan sinar matahari yang pasti.
Pernahkah kau lihat langit biru tanpa awan sama sekali? Kalau pernah, ingat-ingatlah dan nikmatilah keindahannya. Bersih, tanpa noda, seperti bayi baru lahir. Mata hari yang merekah pasti itu laksana mata-mata bayi yang berbinar setelah berhasil membuka mata dengan pasti pula. Ah indah sekali…
Kata Pak Achmad sinar matahari sebenarnya merupakan gabungan beberapa septrum warna yang memiliki perbedaan frekwensi. Dimilai dari warna merah yang frekuwensinya paling lemah. Sampai warna ungu yang paling kuat. Ketika melewati atmosfir, sinar-sinar ini dihamburkan oleh partikel-partikel udara. Makin kuat frekwensinya, makin ia dihamburkan. Warna biru menjadi yang paling dominant di langit siang karena yang dihamburkan adalah hijau, biru dan ungu. Warna merah menjadi dominant di langit pagi dan sore karena sinar menempuh perjalanan lebih jauh di udara, sehingga yang tersisa adalah warna merah.
Langit itu, kini makin indah. Karena diselimuti aurora yang menawan. Bukan aurora seperti yang ada di belantara Amazonia. Lapisan warna yang mengagumkan itu juga tak mirip dengan cahaya udara yang pernah melintasi Canada.
Inilah cahaya terindah yang begitu jarang terpancar. Cahaya yang bersumber dari hati yang terdalam. Berbagai warna itu menyatu dengan keindahan yang eksotik, elegan dan fantastic. Membentuk spectrum-spektrum rahasia yang memenuhi jiwa.
Andai kami bisa memaknai segala sesuatu dengan sangat luas, maka banyak hal yang sebenarnya tak terjangkau oleh kata-kata sastrawan dan penyair manapun…




***

2 komentar:

day... mengatakan...

aku udah baca cerita Kastinya. udah separo cerita. seru.. seru.. berunding sebelum bertanding. saran, penulisannya diperhatikan lagi. banyak huruf yang hilang, seperti hilang menjadi hiang (L).

selamat membuat cerita lagi ya...

buset mengatakan...

hahahaha, masalalu :)